sa'at shalat

Selasa, 07 Desember 2010

Wali Songo


Wali Songo

 Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Wali Songo adalah perintis dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim (Syis, 1984; Sunyoto, 1991; Drewes, 2002). Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15.

Wali Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga.

Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992; Saksono, 1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Selanjutnya, kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata ja yang memiliki nilai dan wa yang bernilai enam (simuh, 1986). Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang benar adalah Wali Sana, yang berarti wali-wali terpuji (Adnan, 1952). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II (Imron arifin, 2002).

Strata sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Wali Songo sangat dipengaruhi oleh kehidupan animispanteistik yang dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar, biksu, wiku, resi, dan empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan kharismatik (Thrupp, 1984). Kedudukan vital mereka diambil alih para wali dengan tetap berfokus pada kehidupan mistis religius (Stuuerheim, 1977). Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Peranan Mereka dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut di bandingkan yang lain.

 

Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M) adalah tohoh pertama yang memperkenalkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy lahir di Samarkand, Asia tengah. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti ucapan lidah jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).

Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi puteri raja, yang memberinya dua putera. Mereka adalah raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.

Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya.

Sunan Ampel

Sunan Ampel (Raden Rahmat) adalah putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada tahun 1401 M dan diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama ia bermukim, yakni daerah Ampel atau Ampel Denta, Wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya.

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadha, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang.

Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh di daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang puteri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan puteri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Ketika Kesultanan demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menujuk muridnya Raden Patah, putera dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren.

Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad ke-15, peswantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara, bahkan mancanegara.

Diantara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian diperintahkan untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fiqih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.

Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (Moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

 

Sunan Bonang

Sunan Bonang alias Maulana Makhdum Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (1465 – 1525 M), berarti cucu Maulana Malik Ibrahim yang mendirikan pesantren di tempat tinggalnya. Dia juga adalah salah seorang pendiri Kerajaan Demak. Nama kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim. Lahir diperkirakan dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang (desa kecil) di Lasem, Jawa Tengah sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat persujudan/zawiyah sekaligus Pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.

Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acapkali berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.

Di pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, diseelah barat Masjid Agung, setelah sempat dperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Sunan Bonang memiliki buku yang lebih merupakan wejangan mengenai hukum dan agama islam, yang sering disebut sebagai “Buku Sunan Bonang,” dperkirakan berasal dari masa yang lebih awal daripada akhir abad ke-16. Buku Sunan Bonang adalah sebuah Primbon karena merupakan kumpulan dari penjelasan tentang berbagai masalah yang berbeda-beda (Drewes, 2002).

Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia mengusai ilmu fiqih, ususludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat “cinta” ('isyq). Sangat mirip dengan kecendrungan Jalal Al-din Al-Rumi. Menurut Bonang cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al-yaqqin. Ajaran tersebut disampaikan secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” tampak dipengaruhi kitab Al-Shidiq karya Abu Sa'id Al-Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuasa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperi sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang transsedental (alam malakut). 

Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonya. Kegemarannya adalah mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antar nafi (peniadaan) dan 'ishah (peneguhan).

 

Sunan Giri

Sunan Giri bergelar Sultan 'Abd Al-Faqih karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih. Orang-orang pun menyebutnya sebaggai Sultan 'Abd Al-Faqih. Nama aslinya Muhammad 'Ain Al-Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al-Muhajir.

Dia sempat belajar kepada Sunan Ampel. Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad 'Ain Al-Yaqin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada tahun 1442 M.

Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut.

Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawiversi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan mertuanya. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. 

Sunan Giri kecil menuntut ilmu dipesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tidak hanya digunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.

Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasehat dan panglima militer kesultanan demak. Hal tersebut tercacat dalam Babad Demak.

Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Para Santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, Lir-ilir dan Cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuasa Jawa namun syarat ajaran Islam.

Sumber CyberMQ.com

Titik Kemuliaan Ibu Rumah Tangga


fiqhislam.com
 
"Rasa kasih sayang dalam rumah tangga memerlukan satu poros utama, dan ia adalah wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Tanpa kehadiran ibu rumah tangga, maka rumah tangga akan kering tanpa makna." (Ayatullah Uzma Sayid Ali Khamenei)

SESAAT menjelang bunuh diri, aktris kenamaan Hollywood, Marilyn Monroe, menulis sepucuk surat untuk kaum wanita seluruh dunia. Bintang iklan yang juga supermodel paling populer itu menyampaikan sebuah penyesalannya menjalani kehidupan di dunia ini. Salah satu kutipan dalam suratnya tersebut sebagai berikut:

"Waspadailah popularitas wahai wanita.Waspadailah setiap kegemerlapan yang menipumu. Saya adalah wanita termalang di muka bumi ini, sebab saya tidak bisa menjadi seorang ibu. Sesungguhnya wanita itu seharusnya menjadi penghuni rumah utama. Kehidupan berumah tangga dan berkeluarga secara mulia di atas segalanya. Sesungguhnya kebahagiaan wanita yang hakiki adalah dalam kehidupan rumah tangga yang mulia dan suci, bahkan kehidupan berumah tangga adalah simbol kebahagiaan wanita dan manusiawi."

Marilyn Monroe tak sendirian. Kini, banyak kaum perempuan barat mengikuti penyesalan Marilyn Monroe. Penyesalan ini lahir dari banyak hal yang telah mereka lakukan di luar fitrah mereka. Mereka menyesal atas kesibukannya di luar rumah. Karena kesibukan mereka di luar rumah, keluarga mereka menjadi rentan dihinggapi berbagai masalah.

Penyelewengan, perselingkuhan suami istri, adalah masalah dominan yang kerap mengunjungi mereka. Karenanya, kegoncangan kehidupan rumah tangga, penyelewengan pendidikan anak yang menyebabkan mereka terlantar dan sengsara menjadi pelengkap penyesalan mereka. Tentu, secara fitrah, tak ada seorang wanita (ibu) yang tak menangis hatinya saat melihat anak-anaknya memiliki moral yang rusak, bebas berzina, hamil di luar nikah, aborsi, dan lain-lain. Tapi, inilah yang terjadi di barat sana.

Kaum wanita yang hidup dalam liberalisme barat mulai menyadari bahwa persamaan, kesetaraan, dan kebebasan yang didengungkan banyak kaumnya di negeri mereka, sebetulnya telah merampas kebahagiaan dan fitrah mereka sendiri. Mahmud Mahdi Al Istambuli menyampaikan kabar kesadaran mereka itu sebagai berikut: "Mereka baru-baru ini mulai mengajukan persamaan dengan wanita Muslimah, sesudah mereka tahu apa tujuan di balik semboyan-semboyan dan slogan-slogan bohong itu. Wanita-wanita barat rindu mendapatkan kehidupan sebagaimana dialami wanita di negeri Islam. Mereka menuntut persamaan dengan kehidupan para Muslimah itu."

MONROE berharap menjadi seorang ibu yang baik. Bahkan, ia menyatakan sendiri bahwa kebahagiaan hakiki seorang wanita adalah ketika ia mampu menjadi ibu, yang berkiprah total dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Berkhidmat dan taat sepenuhnya kepada suami, melahirkan anak, mendidiknya, membesarkannya, menjadikan mereka generasi yang taat kepada orangtua, dan generasi penerus perjuangan yang akan mampu mewujudkan peradaban mulia.

Tentu, Monroe dan banyak kaum wanita yang kemudian menyadari kekeliruannya selama ini, melihat sebuah kemuliaan dalam status itu. Dan, secara tidak langsung, ia menyanggah bahwa kebahagiaan hakiki seorang wanita ada dalam gemerlapnya harta, tingginya kedudukan, pesatnya karier, dan lain-lain.

Sesungguhnya, yang Monroe lihat adalah sebuah kebenaran. Kebenaran yang selama ini diajarkan Islam. Ajaran yang menempatkan wanita, terutama ibu, dalam posisi yang sangat mulia.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Uzma Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Anda yang beraktivitas di luar rumah, baik Anda sebagai dokter, dosen di perguruan tinggi, atau profesi-profesi akademis lainnya yang pada tempatnya tentu relevan, tetap harus memberikan kiprahnya di dalam rumah. Masalah keibuan, status sebagai istri, rumah dan rumah tangga, semuanya merupakan hal amat fundamental dan vital. Anda bukanlah wanita yang sempurna jika Anda tidak menangani urusan di dalam rumah. Rasa kasih sayang dalam rumah tangga memerlukan satu poros utama, dan itu ialah wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Tanpa kehadiran ibu rumah tangga, maka rumah tangga akan kering tanpa makna."

Dr. Mien Uno, salah seorang tokoh perempuan negeri ini mengungkapkan hal senada. "Saya menganggap bahwa ibu rumah tangga adalah karir yang sangat terhormat. Akan tetapi, banyak masyarakat kita yang berpendapat bahwa status ibu rumah tangga bukanlah karir karena tidak bergerak dalam lingkup publik. Saya tidak mengerti yang dimaksudkan dengan lingkup publik. Bagaimanapun, menurut pendapat saya, justru ibu rumah tangga adalah posisi yang sangat terhormat karena dia melingkupi faktor-faktor sosial dengan keluarga, dengan masyarakat. Dia peletak dasar agama, kemudian sebagai seorang pendidik yang baik. Karenanya, dia berkarir sebagai ibu rumah tangga."

Keterhormatan itu akan semakin lengkap manakala seorang ibu rumah tangga mampu mewujudkan tiga struktur rumah tangga, seperti yang diungkapkan Syeikh Muhammad Al-Ghazali, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah.

Menurut Al Ghazali, yang dimaksud sakinah adalah hendaknya seorang ibu rumah tangga harus berpuas hati dengan pasangannya, demikian juga sebaliknya. Mereka harus menanamkan kesetiaan dalam kehidupannya. Seorang ibu rumah tangga sepatutnya tahu kesenangan suami. Menyediakan segala keperluan yang disukainya terlebih dahulu, sebelum meminta sesuatu darinya. Sementara mawaddah, berarti seorang ibu rumah tangga harus berupaya menumbuhkan rasa suka dan duka bersama keluarganya. Dan rahmah, berarti seorang ibu rumah tangga harus senantiasa mendasarkan setiap perilaku dan aktivitasnya di dalam rumah kepada akhlak yang mulia, serta tahu bersyukur atas nikmat yang diperoleh.

Namun demikian, menjadi ibu rumah tangga yang mendapat kehormatan dan kemuliaan memerlukan kelayakan yang cukup.

Wanita yang berhati batu, tidak pandai menaati suami, sering menuntut hak dan mengada-adakan masalah, tetapi gagal menunaikan tanggungjawab, tidak layak mendapat tempat terhormat dan mulia itu. Apalagi ia tidak mampu mewujudkan kehormatan anak-anaknya yang bakal menyambung kehidupan rumah tangga dan mewujudkan peradaban mulia. Kini, dengan catatan daftar kehormatan ibu rumah tangga, masih adakah yang menyebut bahwa ibu rumah tangga sebagai profesi terhina? Wallahua'lam. 

Syam/MQ/oaseqalbu.net

Pentingnya Kejujuran



fiqhislam.com

Pada awal kerasulannya, Muhammad SAW pernah bertanya kepada kaum Quraisy, "Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda? Percayakah kalian?"


Jawab mereka, "Ya, engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat kau berdusta".

Jawaban orang Quraisy itu disampaikan secara spontan karena yang bertanya adalah Muhammad bin Abdullah. Sosok yang selama ini mereka gelari dengan Al Amin, orang yang dipercaya.

Ada fenomena menarik dari penganugerahan gelar Al-Amin ini. Pertama, gelar Al-Amin lahir dari mulut orang-orang Quraisy. Padahal, sejarah mencatat bahwa peradaban Quraisy saat itu dan jazirah Arab umumnya berada di tengah peradaban Jahiliyyah. Sebuah peradaban yang sudah tidak bisa lagi membedakan antara yang hak dan batil, antara yang halal dan haram. Sebuah peradaban yang sudah sangat rusak dan bobrok. 

Namun, kejujuran Muhammad bin Abdullah tidak luntur oleh peradaban di sekelilingnya. Justru orang-orang yang hidup di peradaban Jahiliyah itu (Quraisy) secara sukarela memberikan penghargaan kepada kejujuran Muhammad dengan menggelarinya Al-Amin. 

Hikmah pertama dari gelar ini, sepertinya Allah ingin memberikan pelajaran bahwa kejujuran adalah sebilah mata uang yang tidak saja akan senantiasa berlaku. Tetapi, juga akan selalu berharga di manapun dan kapan pun, sekalipun di tengah peradaban yang carut-marut.

Hikmah Kedua, gelar Al-Amin ini telah diberikan oleh orang-orang Quraisy jauh sebelum masa kerasulannya, kira-kira pada usia 15-20 tahun. Penganugerahan gelar Al-Amin yang sudah melekat jauh sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul ini mengandung pelajaran bahwa kejujuran adalah modal awal sekaligus modal sebaik-baiknya untuk menempuh kehidupan. Baik dalam kedudukan Muhammad selaku hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi, tidak terkecuali dalam menjalankan amanah kepemimpinan di hadapan sesama umat manusia. Lawan dari kejujuran adalah perilaku dusta. Mengenai hal ini Rasulullah berpesan, "Hendaklah kamu sekalian menjaga diri dari berperilaku dusta. Sesungguhnya dusta akan selalu membawa kepada kejahatan, dan sesungguhnya setiap kejahatan akan menyeret pelakunya ke dalam neraka."

Dusta berpotensi membawa pelakunya untuk berbuat jahat. Seorang pencuri, ketika ia mencuri pada dasarnya ia sedang tidak jujur kepada dirinya sendiri, karena barang yang ia ambil bukan miliknya. Orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, zakat, dan berbagai syariat lainnya, pada dasarnya orang itu sedang tidak jujur pada dirinya sendiri. Ia telah mengingkari jati dirinya sebagai seorang khalifah maupun hamba Allah.

Rudy Swardani | oaseqalbu.net