sa'at shalat

Kamis, 31 Mei 2012


Al-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (2)

Kamis, 31 Mei 2012, 21:59 WIB
Wordpress.com
  
Al-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (2)
republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Fakta bahwa hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Hanya saja barangkali tidak kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulan itu sangat beralasan. 

Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir pada 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab Al-Manhiyyat“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(QS. Al-Hasyr: 7).

Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya, memiliki tingkatan yang berbeda. 

Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).

Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri.

Misalnya saja larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101).

Sedangkan pengertian nahy tahrim ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks. Misalnya larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul.” (QS. Al-Maidah: 3). 

Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa. 

l-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (1)

republika.co.id
Wordpress.com
  
Al-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Ada sebagian perintah ataupun larangan dalam yang bersifat ta’abbudi (transendental) dan ada pula yang dikategorikan sebagai ta’lili (bisa dirasionalisasikan), baik yang bersumber dari kalam Allah SWT ataupun hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. 

Namun, tak semua pesan yang tersimpan di balik kedua hal tersebut mampu ditangkap oleh akal manusia. Berangkat dari fakta ini, muncul sejumlah karya yang mencoba menguak hikmah dari sebuah perintah atau larangan.
Salah satunya datang dari Al-Hakim At-Tirmidzi—bukan pakar hadis, namun Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi). 

Melalui karyanya yang berjudul Al-Manhiyyat, tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Basyar Al-Hakim At-Tirmidzi itu berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran- anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.

Ia membatasi ulasannya hanya pada hadis-hadis Rasulullah dengan dejarat kesahihan yang beragam. Uraiannya itu diperkuat dengan argumentasi yang berasal dari Alquran, riwayat hadis lainnya, dan pendapat para ulama. 

Penjelasannya sangat sederhana. Karenanya, pembahasan kitab yang salah satu naskah manuskripnya masih tersimpan di Dar Al-Kutub, Kairo, Mesir itu, mudah dibaca dan tak terlalu sulit memahaminya.

Namun, analisis dan pembacaan pesan yang tersimpan dalam hadis Rasulullah oleh tokoh yang berasal dari Tirmidz —sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhtan —tersebut tergolong mendalam. 

Hal ini tak terlepas dari latar belakang tasawuf dan ilmu olah spiritual yang ia dalami. Kedalaman itu juga tampak di beberapa karyanya. Sebut saja Ilal Al-Ubudiyyah, Syarh As-Shalat wa Maqashiduha, Al-Hajju wa Asraruhu, dan tentunya adikaryanya yang terkenal; Khatmul Awliya’.

Larangan bermotif positif

Dalam pembukaan kitabnya, tokoh yang hidup hingga 320 H tersebut menegaskan satu poin penting. Bahwasanya semua larangan yang diberlakukan Rasulullah kepada umatnya memiliki tujuan positif dan benar. Bila peringatan dan larangan itu diikuti, maka yang bersangkutan akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar, maka ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.

Senin, 28 Mei 2012


'Meremehkan' Dapat Berujung pada Gangguan Psikis?

republika.co.id
managedview.emc.com
  
'Meremehkan' Dapat Berujung pada Gangguan Psikis?
Menunda (ilustrasi)
"Jangan pernah meremehkan kebaikan meskipun sedikit," kata guru-guru kita saat menasihati murid-muridnya.

Nasihat tersebut juga mengandung larangan untuk tidak meremehkan keburukan meskipun kecil. 

Memang benar, awal dari segala kegagalan dan kerugian yaitu membudayanya sikap meremehkan. Maka, anda jangan heran tatkala melihat orang yang pintar dan cerdas, lebih sering mengalami kegagalan dan kerugian di dalam usaha dan jerih payahnya. Atau, orang yang memiliki kadar kecerdasan yang biasa-biasa saja, bahkan di bawah rata-rata, namun acap kali berhasil dan meraup kesuksesan yang gemilang disebabkan konsistensi dan ketekunannya dalam berusaha.

Tidak hanya itu, sikap meremehkan merupakan pangkal dari sifat sombong. Inilah yang membuat Iblis terlempar dari kasih sayang Tuhan untuk selama-lamanya. 

Sikap meremehkan selalu timbul dari sikap yang terlalu percaya diri dan merasa pintar. Sehingga, hal tersebut berdampak pada munculnya kebiasaan menunda dan menunda. 

Jika "kebiasaan menunda" berlangsung dalam tempo yang lama, maka yang akan dikhawatirkan kalau kebiasaan tersebut menjadi karakter dan kepribadian kita. Dan tentu hal tersebut sangat merugikan, baik bagi orang yang bersangkutan maupun orang-orang di sekelilingnya.

Permasalahan pun tidak terhenti pada dampak yang merugikan. Tetapi, bermuara pada penyesalan yang akan kita bawa sampai meninggal dunia kelak. 

Penyesalan akan berdampak pada gangguan psikis yang tentu amat menyiksa batin dan menimbulkan sikap serba salah. Salah satu gambaran penyesalan yang bakal dibawa sampai hari kiamat kelak, tatkala kita tidak memanfaatkan anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita. Sehingga orang-orang yang tidak beriman, saat disiksa di Neraka mengatakan, "Seandainya saja aku dulu menjadi debu dan tidak pernah hidup."

Islamic Missions City, 13 Mei 2012,

Ahmad Satriawan Hariadi Mahasiswa Universitas al-Azhar Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah.

Kisah Khalifah Umar Memilih Pengganti




  
Kisah Khalifah Umar Memilih Pengganti
Masjid Nabawi atau Masjid Nabi adalah masjid pertama yang dibangun di kota Madinah.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ayatulloh Marsai*

Subuh itu Umar bin Khattab, seperti biasa menjadi imam shalat subuh di Masjid Nabawi. Setelah takbiratul ihram, tiba-tiba muncul seorang laki-laki, langsung menikam dada dan perutnya enam kali bertubi-tubi. Tubuh Umar roboh. Lalu para jamaah memapahnya ke rumahnya di sebelah masjid.
 
Dalam detik-detik kematiannya, yang terpikir oleh Umar adalah bagaimana supaya sepeninggal dirinya, kekhalifahan lebih baik lagi. Dia melihat ambisi sahabat-sahabatnya begitu besar, sehingga tidak mungkin menunjuk salah satu diantara mereka, seperti apa yang dilakukan Abu Bakar As-Sidiq kepada dirinya. 

Situasinya jelas berbeda dengan masa dia diangkat oleh Abu Bakar As-Sidiq. Pada akhir kepemimpinan Umar, semua kelompok merasa berjasa menegakkan panji Islam, hingga merasa layak (berhak) menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab. 

Umar terbayang dua tokoh, Abu Huzaifah dan Abu Ubaidah,  “seandainya salah satu diantara mereka masih hidup akan saya serahkan kepadanya.” 

Tabib yang memeriksa Umar rupanya sampai pada diagnose akhir, lalu berkata, “berwasiatlah, ya Amirulmukminin!” Umar tidak tenang. Bukan karena kematiannya, tetapi karena dia belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Lalu, orang-orang berkata, “kenapa tidak Abdullah bin Umar saja yang menggantikan urusan anda.” Umar marah, “sekali-sekali tidak akan saya serahkan urusan ini kepada orang yang tidak mampu menceraikan istrinya”.

Akhirnya Umar menunjuk enam orang untuk memilih satu diantara mereka, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa mereka adalah penghuni surga. Umar menyuruh Abdullah bin Umar bergabung untuk mengawasi, tidak boleh dipilih karena dia anak dari Umar bin Khattab. 

Dari kisah di atas, paling tidak ada 3 (tiga) pelajaran (ibrah) yang bisa kita petik sebagai kriteria memilih pemimpin. Pertama, integritas agama. Jaminan masuk surga oleh Rasul, bagi Umar cukup sebagai dasar kualitas agama mereka. 

Kedua, Umar tidak mengangkat anaknya sebagai penggantinya, meskipun umat menganjurkannya. Inilah satu diantara keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, dia enggan melibatkan keluarga untuk urusan “negara,” bukan hanya urusan kekayaan “negara,” namun juga jabatan, lebih-lebih jabatan nomor satu. 

Ketiga, Umar tidak mengangkat orang yang tidak mampu menceraikan istrinya. Tentu saja kepada istri yang sudah melakukan kesalahan fatal. Artinya, Umar tidak mengharapkan pemimpin yang menggantikannya nanti orang yang tidak tegas. Umar ingin pemimpin berikutnya tegas seperti dia. Seperti langkahnya yang tidak segan-segan memecat pejabat-pejabat yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya.
 
Jika kita tengok pemimpin-pemimpin kita pada setiap levelnya, dari RT sampai Presiden, sudahkah bebas dari tali hubungan keluarga dan karib-kerabat (nepotisme)? Apakah pemimpin kita tidak memanfaatkan fasilitas negara, akses politik dan ekonomi untuk keluarganya? Terakhir, sudahkah tegas kepada pejabat-pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyatnya? 

* Penulis adalah Pengajar di Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon, Banten.

Jumat, 25 Mei 2012


republika.co.id

Filosofi Gelap Freemasonry Ateis (1)


truthcontrol.com
  
Filosofi Gelap Freemasonry Ateis (1)
Ilustrasi strata organ Fremasonry.

Oleh: Harun Yahya *
Freemason Ateis menjadikan "perdamaian, persaudaraan dan kasih sayang di antara umat manusia" sebagai ajaran misi mereka. 

Namun konsep-konsep ini, meskipun tampaknya positif pada pandangan pertama, menyimpan permusuhan terhadap agama.

Masonry Ateis telah menjadi salah satu topik utama yang membuat orang penasaran dan bingung. Itu karena kegiatan organisasi ini bersifat rahasia, dus filosofi dan tujuan-tujuan mereka memiliki sejumlah kontroversi. 

Dalam pernyataan publik, Freemason Ateis kerap mengobral "cinta kasih sesama manusia, toleransi, persaudaraan universal, cara-cara menggapai pengetahuan dan kebijaksanaan..." secara luas. Sebuah konsep instan yang menarik hati. Walau demikian, Freemasonry Ateis adalah sebuah organisasi gelap dengan fitur-fitur ateis dan bahkan anti-agama.

Aspek paling menarik Freemasonry Ateis adalah konsep-konsep yang mereka sebutkan dalam pernyataan publik dan tuduhan mereka terhadap kaum "beragama" pada intinya tidak memiliki banyak perbedaan. Pada tahap ini, seseorang mungkin akan bertanya, "Kenapa?" 

Bagaimana pun juga, konsep-konsep ini tampaknya saling berlawanan; cinta, toleransi dan konsep "humanis" sejenis lainnya tampaknya tidak anti-agama pada pandangan pertama. 

Selain itu, banyak orang yang berpikir bahwa konsep-konsep tersebut terdapat dalam moral dan ajaran agama. Benarkah demikian? Bagaimana pun jua, kebenaran yang melekat dalam konsep inilah yang lebih utama. 

Apakah arti cinta bagi kaum Freemasonry Ateis? Freemason Ateis kerap berbicara tentang persaudaraan, toleransi dan perdamaian universal. Mereka menggunakan retorika bahwa manusia bertanggung jawab terhadap manusia lainnya. 

Sebenarnya ini adalah kata-kata yang merujuk pada konsolidasi (persatuan) di antara manusia, dengan demikian tidak ada yang salah dengan mereka. Namun, bagaimana dengan tanggung jawab seseorang kepada Allah?

Pertanyaan ini menguak wajah filosofi Masonik Ateis yang sebenarnya. Hal itu karena, "cinta pada manusia", sebagaimana dimaksudkan filsafat Masonik ateis, bukan cinta yang bersumber dari kenyataan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, sebagaimana disepakati Yunus Emre dalam kata-katanya "untuk mengasihi ciptaan karena Sang Pencipta". 

Sebaliknya, Freemason Ateis percaya bahwa semua manusia lahir sebagai akhir dari sebuah proses evolusi. Hal ini, bagaimanapun, merupakan ekspresi utama penolakan terhadap Allah.

Kamis, 24 Mei 2012



Merindukan Rasulullah SAW


blogspot
  
Merindukan Rasulullah SAW
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alvian Iqbal Zahasfan

Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya.

Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal.

Spontan Bilal terjaga dari tidurnya. Ketakutan dan kesedihan tidak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya.

Al-Hasan dan Al-Husain, cucu Rasulullah, mengetahui hal itu. Mereka mendatangi Bilal. Segera Bilal memeluk dan mencium rindu keduanya. Sejurus kemudian, mereka berkata, “Duhai Bilal, kami ingin sekali mendengarkan lantunan azanmu laiknya engkau azan untuk kakek kami di Masjid ini dulu.” Bilal kemudian mengumandangkan azan, sesuai dengan keinginan kedua cucu Rasul itu.

Maka ketika ia mengumandangkan, “Allahu Akbar”, Kota Madinah gempar. Saat melanjutkan, “Asyhadu alla Ilaha Illallah” kegemparan itu makin menjadi-jadi.
Kala meneruskan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, para warga Madinah keluar dari rumahnya seraya bertanya-tanya. “Bukankah Rasulullah telah diutus?” Maksudnya mereka heran dan kaget seolah-olah Rasulullah hidup lagi. Tidak ada hari sepeninggal Rasulullah di Madinah terlihat banyak orang yang menangis baik perempuan maupun laki-laki kecuali hari itu.

Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan—di antaranya—oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137). Kisah ini setidaknya memberi lima pelajaran. Pertama, mimpi bertemu Rasulullah adalah hak. “Dan siapa saja yang melihat Rasulullah dalam tidurnya maka dia benar-benar telah melihatnya SAW, karena setan tidak bisa menyerupainya.” (HR Bukhari-Muslim). 

Ahli hadis abad ke-21 dari Lebanon, Abdullah Al-Harari (w. 2008) menafsiri bahwa seseorang yang pernah bermimpi bertemu Rasulullah maka insya Allah ia akan meninggal husnul khatimah. 

Kedua, ziarah ke pusara Rasulullah merupakan amalan yang baik. Ketiga, menangis dan mencium pusara Rasulullah sebagai ekspresi cinta dan kerinduan adalah hal yang wajar. Rasulullah bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan kelak dengan orang yang ia cintai.” (HR Al-Bukhari).

Keempat, azan hendaknya dikumandangkan dengan suara yang nyaring. Sebagaimana Bilal yang bersuara lantang dan ketika azan naik ke atap Masjid an-Nabawi. Kelima, ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat …” (HR Al-Hakim).

Semoga kita termasuk orang-orang yang rindu kepada Rasulullah, sebagaimana Bilal rindu kepadanya. Testimoni Umar bin Al-Khattab, “Abu Bakar adalah sayyiduna (pemimpin kita) dan yang telah memerdekakan sayyidana, (Bilal).”Wallahu A’lam

Kisah Penolong Kucing

Jumat, 25 Mei 2012, 07:07 WIB
Al-Arabiya
  
Kisah Penolong Kucing
Squires, si kucing lucu, hilang lima tahun lalu di Colorado, ditemukan kelayapan di Manhattan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Fauzul Iman
Seorang sufi besar bernama Abu Bakar al-Syibli konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya, berdialog dengan Allah SWT. 

“Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku?” Tanya Allah SWT pada Syibli. 

“Shalat tepat pada waktunya,” jawab Syibli. 

“Bukan,” kata Allah SWT menimpali. 

“Zakat, puasa, dan hajiku yang menyebabkan dosaku diampuni,” lanjut Syibli. 

“Bukan juga,” cetus Allah SWT. 

Syibli pun heran, “Kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku, lalu apa yang telah Kau ridhai dariku,” tanya Syibli penasaran. 

“Aku meridai dan mengampuni seluruh dosamu lantaran engkau telah menolong seekor kucing yang sedang kedi nginan dan kelaparan.”

Kisah di atas dimonumentalkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab syarah Nashaih al- I’bad. Benar dan tidaknya kisah ini dari sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dari kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin hari dirasakan jauh dari rasa kasih dan kekeluargaan.

Di berbagai tempat kita miris dengan aneka perilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugerah Allah. Lihat saja kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dari nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu, tanpa rasa kasih mereka nekat membunuh sesamanya dengan sadis. Tidak peduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya, atau bahkan anak dan orangtuanya sendiri.

Mengapa kekerasan ini makin menjadi-jadi? Jawabannya berpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendiri dalam memberikan keteladanan kasih sayang kepada rakyatnya. Apakah kaum elite yang mengatakan sudah menyuarakan rakyat dan keadilan telah dibuktikan untuk membela negara dan rakyatnya? Justru, rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elite tanpa sadar telah melakukan dosa.

Berapa banyak peraturan yang mereka legitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena diadang oleh berbagai kasus korupsi.

Oleh karena itu, kisah sufi di atas seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) yang amat berharga bagi kita untuk membiasakan diri menanamkan kasih sayang yang bermanfaat ke pada siapa pun makhluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolis saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan, tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridai.

Rasa kasih sang sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa pun dan siapa pun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantar kan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju, dan ber adab. Semoga. Wallahu a’lam.

Nabi Idris AS, Manusia Pertama Yang Menulis dengan Pena (1)

nasihat-nasihat-wali
Karena ketekunannya dalam beribadah dan menuntut  ilmu, Nabi Idris dikaruniai Allah SWT pengetahuan yang luas dan dalam. Dialah manusia pertama yang menulis dengan pena serta satu-satunya Nabi yang tinggal di surga tanpa mengalami kematian.
Nabi Idris lahir di Munaf, sebuah daerah di Mesir. Dia adalah keturunan ke enam Nabi Adam, dari Yazid bin Mihla’iel bin Qinan bin Syits. Dia kakek bapak Nabi Nuh AS. Nabi Syits mengajarkan Idris membaca Shafiah. Allah SWT menurunkan 30 Shahifah kepada Nabi Idris AS yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya (keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah).
Idris kecil mempelajari Shafiah dengan tekun, karena kesukaannya membaca itulah, ia mendapat gelar “Idris”, yang artinya orang yang tekun belajar. Dia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Dia menjadi Nabi pertama yang menulis dengan Pena yang terbuat dari batu kerikil. Tidak mengherankan bila Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang luas.
Beliaulah yang mula-mula pandai ilmu hitung dan ilmu bintang, dan beliau pula manusia pertama yang merancak kuda, menggunting pakian yang terbuat dari kulit binatang dan menjahitnya.
Dia mempunyai kekuatan yang hebat dan bertabiat gagah berani, sehingga diberi julukan “Asadul Usud”, artinya Singa dari segala Singa. Dia tidak pernah lalai sedikitpun dari mengingat Allah, walau sedang sibuk menghadapi persoalan penting sehari-hari. Hingga Allah memberikan derajat yang tinggi padanya.
Seperti halnya Nabi Adam dan Nabi Syits, Nabi Idris juga menerima Wahyu Allah melalui Malaikat Jibril yang berupa 30 Shahifah yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada Umatnya. Beliau di utus berdakwah kepada umat keturunan Qabil. Umat ini telah bersikap durhaka kepada Allah. Mereka menimbulkan berbagai bencana dan kerusakan di muka bumi. Oleh Nabi Idris orang-orang ini diajak salat, puasa dan bersedekah.
Tapi, keturunan Qabil ini tak mau mendengar ajakan menuju kebaikan itu. Mereka malah menghina dan mengejek Nabi Idris. “Hidup kami sudah enak, senang dan serba cukup, kenapa engkau mengganggu kami? Tanya beberapa orang penting dari kaum itu.
“Ajaranmu aneh, kami tak membutuhkannya!” sahut yang lain. “Lebih baik engkau hidup sendiri bersama Tuhanmu.”
Begitulah tantangan dakwah Nabi Idris selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebenaran. Hanya beberapa gelintir orang yang mau mengikutinya. Sebagian besar dari mereka lebih suka mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Karena keturunan Qabil semakin menentang ajaran Idris, Allah memerintahkan Nabi Idris meninggalkan mereka dan membawa pengikutnya yang setia dan mau beriman kepada Allah untuk menyelamatkan diri. Karena Allah akan menurunkan azab kepada umat yang durhaka itu.
Begitu Nabi Idris dan pengikutnya meninggalkan negeri itu, datanglah azab yang dijanjikan Allah. Paceklik merajalela, pertanian gagal, ternak mati, akhirnya umat yang sesat itupun mati bergelimpangan karena kelaparan.
Sebaliknya, Nabi Idris dan orang-orang beriman yang mengikutinya diselamatkan Allah dari bencana yang mengerikan itu.

Rabu, 23 Mei 2012


Nabi Ilyas As: Berbuka Puasa dengan Makanan Surga

Ihwal Nabi Ilyas kurang banyak diungkap, namun diyakini bahwa beliau masih hidup di dunia bersama Nabi Khidir,
Nabi Ilyas AS adalah keturunan Nabi Harun yang Ke empat, ia di utus Allah kepada kaum Bani Israel yang suka menyembah berhala, yang di sebut “Berhala Ba’al.”
Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Ilyas Al-Nasyabi, yang mendapat panggilanIbnu Yasin, di yakini masih hidup di Bumi. bersama Nabi Khidir. Sedangkan Nabi Isa dan Nabi Idris juga masih hidup di langit.
Ilyas dan Khidir saling berkumpul pada saat bulan Ramadhan di Baitulmakdis. Keduanya mengerjakan ibadah haji di Padang Arafah dan minum air Zamzam.
Dalam suatu perjalanan bersama Rasul SAW, di suatu lembah, Anas bin Malik mendengar seseorang berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku salah satu dari umat Muhammad yang di cintai, diberi ampunan, dan diterima tobatnya.” Selanjutnya Anas berkisah…:
Kudekati lembah itu, dan ternyata ada seseorang di sana. “Siapa kamu?” dia bertanya. “Anas bin Malik, aku pelayan Rasul,” jawabku.
“Dimana beliau?” ia bertanya lagi. “Ada di sini, beliau mendengar ucapanmu,” jawabku.
“Temuilah beliau, dan sampaikan salamku, katakan padanya, “Saudaramu, Ilyas, menyampaikan salam,” katanya.
Maka kuberitahukan hal itu kepada beliau, kemudian Rasulullah SAW menemui, memeluk dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu keduanya duduk dan berbincang-bincang.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak makan dalam setahun kecuali hanya satu hari. Di hari ini adalah hari berbukaku, aku akan makan bersamamu.”
Maka turunlah meja makan dari langit yang di atasnya terdapat roti, ikan laut dan daun seledri. Lalu mereka berdua makan dan juga memberiku makan, lalu kami salat ashar. Setelah Ilyas meninggalkan Rasulullah dan aku melihat lintasan perjalanannya di awan menuju langit.
Sebuah riwayat menyebutkan, hal itu terjadi dalam perang tabuk, ketika Rasulullah mengutus Anas bin Malik dan Hudzaifah bin Al-Yaman menemuinya. Keduanya mengatakan, “ternyata ia seorang yang berbadan dua atau tiga hasta lebih tinggi dari kami.”
Ketika Rasul berkumpul dengan Ilyas, keduanya makan makanan dari surga. Ilyas berkata, “setiap 40 hari saya baru makan.” Sedangkan di Meja makan Itu terdapat Roti, Anggur, pisang, Kurma, dan sayur-sayuran selain bawang.
Rasulullah bertanya perihal Khidir, maka ia menjawab, “Sesungguhnya engkau akan bertemu dengannya sebelumku, maka sampaikan salamku untuknya.”
Pengalaman Tsabit, salah seorang sahabat, menyebutkan, ketika ia sedang salat sunah di pinggir kota Kufah bersama Mush’ab bin Zubair, tiba-tiba dari belakang terdengar suara, “jika kamu membaca Ghafirudz Dzanbi (yang menghapuskan dosa), ucapkanlah, “Wahai Dzat yang menghapuskan dosa, ampunilah aku atas dosa-dosaku.”
Jika kamu membaca Qarbilut Taubati (yang menerima Taubat), ucapkan, “Wahai Dzat yang menerima taubat, terimalah tobatku.”
Jika kamu membaca Syadiul Iqabi (yang keras hukuman-Nya), “Wahai Dzat yang keras hukuman-Nya, janganlah Engkau menghukumku.”
Dan jika kamu membaca Dzat Tuuli (yang mempunyai karunia), ucapkan, “Wahai Dzat yang karunia, keruniakanlah kepadaku rahmat dalam waktu yang lama.”
Ketika itu ia membaca surat Al-Mukmin ayat 1-3, yang artinya, “Ha Mim, turunnya kitab (Al-Qur’an) ini dari Allah, yang Maha Perkasa, yang Maha Mengetahui. Yang menghapuskan dosa, yang menerima Tobat, amat keras hukuman-Nya, dan besar kekuasaan-Nya. Tiada Tuhan selain Dia, kepada-Nya lah tujuan kembali,”
Setelah itu aku menoleh dan ternyata tidak menemukan seorang pun di belakangku. Lalu aku keluar dan bertanya kepada orang-orang. “Apakah orang yang melintas di depan kalian menaiki seekor keledai yang besar?”
Mereka menjawab, “Tidak ada orang yang melintas di sini,” dan mereka tidak mengetahui melainkan Ilyas.
Ilyas adalah Nabi yang ke 17. Ia di utus untuk menyadarkan penduduk Ba’albakatau Punicia yang menyembah berhala Ba’al. Negaranya terletak di bagian pantai Arab Utara, tapi ada yang menyebut sebelah barat Damaskus sekarang. Bangsa Punicia adalah bangsa pelaut. Di wilayah Libanon ditemukan bangunan altar penyembahan Ba’al yang disebut Heliopolis.
Nama Ilyas disebut dua kali dalam surat Al-An’am ayat 85, bersama dengan Nabi Zakaria, Yahya, dan Isa , sebagai orang-orang yag saleh, dan Surah As-Saffat ayat 123, sebagai orang yang di utus oleh Allah.
Surah As-Saffat ayat 123-130 mengungkapkan tugas dakwah Nabi Ilyas dalam menyeru kaumnya bertauhid, menyembah hanya kepada Allah.
“Apakah kamu tidak takut pada siksaan Allah? Kenapa kamu menyembah berhala Ba’al dan mengabaikan Allah?” seruan itu dijawab, “Kami sudah sejak lama menyembah Ba’al, sejak nenek moyang kami, oleh karena itu kami tidak bisa meningglkan begitu saja.”
Karena penolakan itu, Allah menurunkan azab, kecuali orang-orang yang menerima seruan Ilyas, berupa musim kering selama tiga tahun berturut-turut, sehingga mereka kelaparan, karena tanaman dan ternak mereka rusak. Akhirnya mereka menerima ajakan Ilyas, tetapi setelah kehidupan kembali normal, mereka mengulang menyembah berhala.
Nabi Ilyas selalu dikejar dan dicari-cari oleh kaumnya untuk dibunuhnya. Oleh karena itu Nabi Ilyas lari menghindar untuk menyelamatkan diri, bersembunyi di rumah-rumah yang sepi dan kosong.
Berkat kekuasaan Allah, setiap rumah yang dimasuki Nabi Ilyas, maka disana sudah tersedia makanan.
Akhirnya orang-orang mengetahui, setiap mereka memperoleh makanan dalam sebuah rumah, mereka mengatakan, “Pasti rumah ini sudah di masuki oleh Ilyas.”
Melihat kenyataan itu, Ilyas memohon kepada Allah agar tugasnya di akhiri, dan beliau pun wafat. Tugasnya diteruskan oleh Nabi Ilyasa’ keponakannya sendiri. Tapi ada riwayat yang menyebutkan, Ilyasa’ adalah anak seorang perempuan Bani Israel tempat Ilyas menyembunyikan diri dari kejaran umatnya yang tetap durhaka. Dia mempunyai seorang anak laki-laki, bernama Ilyasa’, yang penyakitan. Setelah disembuhkan Ilyas, Ilyasa’ menjadi pengiring setia Ilyas.
Nama Ilyasa’ disebut dua kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah Shad ayat 48 dan Surah Al-An’am ayat 86. Ia termasuk dalam daftar Nabi Bani Israel.

AddThis Social Bookmark Button
CetakPDF
puasa_di_bulan_rajab_2Lagi trend saat ini, sebagian kita mengirimkan pesan kepada saudara lainnya untuk mengajak berpuasa di bulan Rajab. Kita sudah ketahui bersama bahwa bulan Rajab adalah di antara bulan haram, artinya menunjukkan bulan yang mulia. Beramal sholih dan meninggalkan maksiat diperintahkan ketika itu. Namun bagaimana jika kita menjadikan puasa khusus yang hanya spesial di bulan Rajab? Apalagi ditambah dengan tidak adanya dalil pendukung atau dalilnya lemah (dho’if) bahkan palsu (maudhu’)? Tulisan kali ini akan sedikit memaparkan perkataan para ulama mengenai anjuran puasa di bulan Rajab.
Ada dalil yang berisi anjuran berpuasa di bulan haram dan bulan Rajab adalah di antara bulan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ
Berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Daud no. 2428). Namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’if Abu Daud. Taruhlah jika hadits tersebut shahih, itu berarti hadits tersebut menunjukkan keutamaan berpuasa pada bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), bukan berpuasa pada bulan Rajab saja. Jika seseorang berpuasa pada bulan Rajab karena mengamalkan hadits di atas, seharusnya ia berpuasa pula pada bulan haram yang lain, maka seperti itu tidaklah masalah. Jika berpuasa khusus pada bulan Rajab saja, itulah yang masalah. Demikian keterangan dari Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatwa yang sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan  palsu (maudhu’). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’(palsu) dan dusta. Dalam musnad dan selainnya disebutkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau memerintahkan untuk berpuasa pada bulan haram, yaitu Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Hadits ini menunjukkan puasa pada empat bulan tersebut seluruhnya, bukan hanya khusus di bulan Rajab.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits yang menunjukkan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 213). Ibnu Rajab menjelaskan pula, “Sebagian salaf berpuasa pada bulan haram seluruhnya (bukan hanya pada bulan Rajab saja, pen). Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu ‘Umar, Al Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Sabi’iy. Ats Tsauri berkata, “Bulan haram sangat kusuka berpuasa di dalamnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 214).
Ibnu Rajab kembali berkata, “Tidak dimakruhkan jika seseorang berpuasa Rajab namun disertai dengan puasa sunnah pada bulan lainnya. Demikian pendapat sebagian ulama Hambali. Seperti misalnya ia berpuasa Rajab disertai pula dengan puasa pada bulan haram lainnya. Atau bisa pula dia berpuasa Rajab disertai dengan puasa pada bulan Sya’ban. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya berpuasa pada bulan haram (bukan hanya bulan Rajab saja). Ditegaskan pula oleh Imam Ahmad bahwa siapa yang berpuasa penuh pada bulan Rajab, maka saja ia telah melakukan puasa dahr yang terlarang (yaitu berpuasa setahun penuh).” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 215).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap hadits yang membicarakan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam (seperti shalat setelah Maghrib pada malam-malam pertama bulan Rajab, pen), itu berdasarkan hadits dusta.” (Al Manar Al Munif, hal. 49).
Penulis Fiqh Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan puasa Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.” (Fiqh Sunnah, 1: 401).
Sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1: 401), Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab atau menjelaskan puasa tertentu di bulan tersebut. Begitu pula tidak ada dalil yang menganjurkan shalat malam secara khusus pada bulan Rajab. Artinya, tidak ada dalil shahih yang bisa jadi pendukung.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Puasa pada hari ke-27 dari bulan Rajab dan qiyamul lail (shalat malam) pada malam tersebut serta menjadikannya sebagai suatu kekhususan pada hari itu, hal ini berarti bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 20: 440).
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Adapun mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ada hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya atau menunjukkan anjuran puasa saat bulan Rajab. Yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan mengkhususkan sebagian hari di bulan Rajab untuk puasa dengan keyakinan bahwa puasa saat itu memiliki keutamaan dari yang lainnya, maka tidak ada dalil yang mendukung hal tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 75394)
Jika ingin puasa di bulan Rajab karena ada kebiasaan seperti punya kebiasaan puasa daud, puasa senin kamis, puasa ayyamul bidh atau puasa tiga hari setiap bulannya, ini berarti tidak mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa tertentu dan tidaklah masalah meneruskan kebiasaan baik seperti ini.
Ingatlah sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah membuat-buat amalan yang tanpa tuntunan.

Selasa, 22 Mei 2012


sufiz.com

Ahmad Ibnu Harb

Ia bertetangga dengan seorang Zoroastrian yang bernama Bahram. Bahram mengirim seorang untuk melakukan perjalanan dagang. Di tengah perjalanan, seluruh barang milik Bahram dibawa lari para pencuri.
Saat Ahmad mendengar berita pencurian itu, ia berkata pada muridnya, “Bangkitlah, musibah telah menimpa tetangga kita. Mari kita ke rumahnya dan menyatakan ikut berduka, walaupun ia seorang Zoroastrian, namun ia tetap tetangga kita.”
Ketika mereka tiba di depan pintu rumah Bahram, si tuan rumah nampak sedang menyalakan api sesembahannya. Bahram berlari menyambut mereka dan mencium tangan Ahmad. Bahram berpikir mungkin mereka lapar. Walaupun saat itu roti sulit di dapat, Bahram menyuguhkan roti di atas meja untuk mereka.
“Tidak usah repot-repot,” kata Ahmad, “Kami datang untuk menyatakan rasa simpati kami. Aku dengar barang-barangmu telah dicuri.”
Bahram berkata, “Ya, benar, tapi aku punya tiga alasan untuk tetap bersyukur pada Tuhan. Pertama, mereka mencuri milikku, bukan milik orang lain. Kedua, mereka hanya mengambil separuh. Ketiga, bahkan sekalipun seluruh harta benda duniawiku hilang, aku masih memiliki agamaku, dunia itu memang datang dan pergi.”
Kata-kata Bahram itu membuat Ahmad senang. Ia berkata pada muridnya, “Catat itu, hawa Islam keluar dari kata-kata ini.” Kemudian sambil menatap Bahram, ia menambahkan, “Mengapa engkau menyembah api ini?”
“Agar ia tidak membakarku,” jawab Bahram. “Kedua karena di dunia ini aku telah memberinya begitu banyak bahan bakar, di hari kemudian ia tidak akan mengkhianatiku dan akan menghantarkanku kepada Tuhan.”
“Engkau telah melakukan sebuah kesalahan besar,” komentar Ahmad. “Api itu lemah, bodoh dan khianat. Semua anggapanmu tentangnya adalah salah. Jika seorang bocah menyiramkan sedikit air padanya, maka ia akan padam. Sesuatu yang selemah itu bagaimana mungkin bisa menghantarkanmu kepada Dia Yang Begitu Perkasa? Sesuatu yang tak berdaya menghadapi sedikit tanah, bagaimana mungkin bisa menghantarkanmu kepada Tuhan? Selain itu, untuk membuktikan bahwa ia bodoh, jika engkau menaburkan kasturi dan sampah di atasnya, maka ia akan membakar keduanya. Ia tidak bisa membedakan mana yang lebih baik. Ia tidak bisa membedakan sampah dengan kasturi. Lalu, engkau telah tujuh puluh tahun menyembahnya, dan aku tidak pernah menyembahnya. Mari kita taruh tangan kita di api ini, dan engkau akan melihat bahwa api ini akan membakar tangan kita berdua. Ia tidak akan setia padamu.”
Kata-kata Ahmad ini begitu menyengat hati Bahram.
“Aku akan mengajukan empat pertanyaan padamu,” kata Bahram, “Jika engkau mampu menjawab keempatnya, aku akan menerima agamamu. Jawablah, mengapa Tuhan menciptakan manusia? Dan setelah menciptakan mereka, mengapa Tuhan memenuhi kebutuhan mereka? Mengapa Tuhan mematikan mereka? Dan setelah mematikan mereka, mengapa Tuhan menghidupkan mereka kembali?”
“Allah menciptakan manusia untuk menjadi hamba-Nya, untuk beribadah kepada-Nya,” jawab Ahmad. Dia memenuhi kebutuhan mereka agar mereka mengenal-Nya sebagai Yang Maha Memenuhi Kebutuhan. Dia mematikan mereka agar mereka mengatahui kekuatan-Nya yang Maha Meliputi segala sesuatu. Dia menghidupkan mereka kembali agar mereka tahu Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu.”
Segera setelah Ahmad menyelesaikan kalimatnya, Bahram mengucapkan dua kalimat syahadat. “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”
Tiba-tiba Ahmad memekik dengan keras dan jatuh pingsan. Selang beberapa lama, ia kembali siuman.
“Apa yang membuat Anda jatuh pingsan?” Tanya para muridnya.
“Saat Bahram bersyahadat,” jawab Ahmad, “Sebuah suara memanggilku dari dalam relung batinku. “Ahmad,” kata suara itu, “Bahram telah menjadi penganut Zoroastrian selama tujuh puluh tahun, namun akhirnya ia beriman, engkau telah menghabiskan tujuh puluh tahun dalam keimanan, sekarang di penghujungnya, apa capaianmu?”
 ***
Ada dua Ahmad yang sama-sama tinggal di Nisyabur, yang satu bernama Ahmad ibnu Harb dan yang lainnya dijuluki Ahmad sang saudagar.
Ahmad ibnu Harb adalah seorang yang selalu sibuk berdzikir kepada Allah, sampai-sampai ketika seorang tukang cukur hendak mencukur kumisnya, mulutnya tetap saja berkomat-komit.
“Tetaplah tenang saat aku mencukur kumismu,” kata si tukang cukur.
“Uruslah urusan-urusanmu sendiri,” jawab Ahmad ibnu Harb.
Dan setiap kali si tukang cukur mencukur kumisnya, sebagian bibirnya terluka.
Pada suatu kesempatan, ia menerima sepucuk surat, dan selama beberapa berniat untuk membalasnya, namun ia tidak memiliki waktu luang.
Kemudian di suatu hari, seorang muadzin mengumandangkan azan. Saat itu ia berkata, “Inilah saatnya untuk membalas surat sahabatku. Katakana padanya agar jangan lagi menyuratiku, karena aku tidak memiliki waktu luang untuk membalasnya. “Tulislah, sibukkan dirimu dengan Allah, selamat berpisah.”
Sementar Ahmad sang saudagar, ia begitu sibuk dengan cintanya kepada hal-hal duniawi. Suatu hari, ia memerintahkan pelayannya untuk membawakan makanan. Si pelayan menyiapkan makanan dan menghidangkannya di hadapan Ahmad. Namun Ahmad tetap saja larut dalam hitung-hitungan bisnisnya hingga larut malam dan ia pun tertidur.
Ketika ia bangun di pagi harinya, ia memanggil pelayannya, “Engkau tidak menyiapkan makanan yang aku perintahkan.”
“Aku sudah menyiapkannya, tapi tuan begitu sibuk dengan perhitungan-perhitungan bisnis tuan,” kata si pelayan.
Si pelayan memasak makanan untuk kedua kalinya dan menghidangkannya di hadapan tuannya, namun lagi-lagi Ahmad tidak punya waktu untuk menyantap makanan itu. Untuk ketiga kalinya, si pelayan menyiapkan makanan untuk Ahmad dan masih saja ia tidak sempat untuk menikmatinya. Akhirnya si pelayan masuk k eruangan Ahmad, lalu menyuapkan sejumlah makanan ke mulutnya.
Kemudian, Ahmad sang saudagar pun terbangun. “Ambilkan baskom,” perintahnya mengira bahwa ia telah makan.
***
Ahmad ibnu Harb memiliki seorang anak laki-laki yang ia latih untuk percaya kepada Allah.
“Kapan saja engkau menginginkan makanan atau apapun,” kata Ahmad kepada anaknya, “Pergilah ke jendela itu dan katakan, “Ya Allah, aku butuh makanan.”
Setiap kali anak itu pergi ke jendela itu, Ahmad dan istrinya menaruh apapun keinginan anak mereka di sana.
Suatu hari, mereka keluar rumah. Anak mereka yang ditinggal sendirian itu mulai merasakan lapar. Seperti biasa, ia pergi kejendela dan berdoa, “Ya Allah, aku butuh makanan.”
Seketika itu makanan terhidang di dekat jendela itu.
Kemudian, Ahmad dan istrinya pun pulang, dan mereka menemukan anak mereka sedang duduk menikmati makanan.
“Dari mana engkau mendapatkan makanan itu?” Tanya mereka.
“Dari Dia yang memberiku setiap hari,” jawab si anak.
Maka mereka pun mengerti bahwa anak mereka telah sampai di jalan tauhid.

muslim.or.id
Di antara stigma negatif yang dialamatkan oleh Barat terhadap ajaran Islam adalah, bahwa Islam tidak menghargai kedudukan wanita, memasung kebebasannya, tidak adil dan menjadikannya sebagai manusia kelas dua yang terkungkung dalam penguasaan kaum laki-laki serta hidup dalam kehinaan. Wanita Islam pun dicitrakan sebagai wanita terbelakang dan tersisihkan dari dinamika kehidupan tanpa peran nyata di masyarakat. Oleh karena itu, mereka menganggap, bahwa Islam adalah hambatan utama bagi perjuangan kesetaraan gender.
Anehnya, sebagian kaum muslimin yang telah kehilangan jati dirinya malah terpengaruh dengan pandangan-pandangan itu. Alih-alih membantah, mereka malah menjadi bagian dari penyebar pemikiran mereka. Dibawah kampanye emansipasi wanita dan kesetaraan gender, mereka ingin agar kaum muslimah melepaskan nilai-nilai harga diri mereka yang selama ini dijaga oleh Islam.
Wanita pra-Islam
Sebelum datang Islam, seluruh umat manusia memandang hina kaum wanita. Jangankan memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak. Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Orang-orang Romawi memberikan hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Orang Arab memberikan hak atas seorang anak untuk mewarisi istri ayahnya. Mereka tidak mendapat hak waris dan tidak berhak memiliki harta benda. Hal itu juga terjadi di Persia, Hidia dan negeri-negeri lainnya. (Lihat al Mar`ah, Qabla wa Ba’da al Islâm, Maktabah Syamilah, Huqûq al Mar`ah fi al Islâm: 9-14)
Orang-orang Arab ketika itu pun biasa mengubur anak-anak perempuan mereka hidup-hidup tanpa dosa dan kesalahan, hanya karena ia seorang wanita! Allah berfirman tentang mereka,
 وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
 “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58)
Muhammad al Thâhir bin Asyûr mengatakan, “Mereka mengubur anak-anak perempuan mereka, sebagian mereka langsung menguburnya setelah hari kelahirannya, sebagian mereka menguburnya setelah ia mampu berjalan dan berbicara. Yaitu ketika anak-anak perempuan mereka sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Ini adalah diantara perbuatan terburuk orang-orang jahiliyyah. Mereka terbiasa dengan perbuatan ini dan menganggap hal ini sebagai hak seorang ayah, maka seluruh masyarakat tidak ada yang mengingkarinya.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 14/185)
Wanita Pasca Islam
Kemudian cahaya Islam pun terbit menerangi kegelapan itu dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memerangi segala bentuk kezaliman dan menjamin setiap hak manusia tanpa terkecuali. Perhatikan Allah berfirman tentang bagaimana seharusnya memperlakukan kaum wanita dalam ayat berikut:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa [4]: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum wanita. Di antara sabdanya:
 اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
 “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)
 خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam “ash-shahihah”: 285)
Dr. Abdul Qadir Syaibah berkata, “Begitulah kemudian dalam undang-undang Islam, wanita dihormati, tidak boleh diwariskan, tidak halal ditahan dengan paksa, kaum laki-laki diperintah untuk berbuat baik kepada mereka, para suami dituntut untuk memperlakukan mereka dengan makruf serta sabar dengan akhlak mereka.” (Huqûq al Mar`ah fi al Islâm: 10-11)
Wanita adalah Karunia, Bukan Musibah
Setelah sebelumnya orang-orang jahiliy`h memandang wanita sebagai musibah, Islam memandang bahwa wanita adalah karunia Allah. Bersamanya kaum laki-laki akan mendapat ketenangan, lahir maupun batinnya. Darinya akan muncul energi positif yang sangat bermanfaat berupa rasa cinta, kasih sayang dan motivasi hidup. Laki-laki dan wanita menjadi satu entitas dalam bingkai rumah tangga. Kedunya saling membantu dalam mewujudkan hidup yang nyaman dan penuh kebahagian, mendidik dan membimbing generasi manusia yang akan datang. Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Al Rûm [30]: 21)
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” (QS. An Nahl [16]:72)
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)
Hak dan Kedudukan Wanita
Sebagaimana laki-laki, hak-hak wanita juga terjamin dalam Islam. Pada dasarnya, segala yang menjadi hak laki-laki, ia pun menjadi hak wanita. Agamanya, hartanya, kehormatannya, akalnya dan jiwanya terjamin dan dilindungi oleh syariat Islam sebagaimana kaum laki-laki. Diantara contoh yang terdapat dalam al Qur`an adalah: wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam beribadah dan mendapat pahala:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ آَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisâ [4]: 124)
Wanita juga memiliki hak untuk dilibatkan dalam bermusyawarah dalam soal penyusuan:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al Baqarah [2]: 233)
Wanita berhak mengadukan permasalahannya kepada hakim:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Mujâdilah [58]: 1)
Dan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan beberapa kasus pengaduan wanita kepadanya.
Wanita adalah partner laki-laki dalam peran beramar makruf nahi munkar dan ibadat yang lainnya:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71)
Allah juga berfirman tentang hak wanita:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi laki-laki, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah [2]: 228)
Ibnu Katsir berkata, “Maksud ayat ini adalah bahwa wanita memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki atas mereka. Maka, hendaknya masing-masing dari keduanya menunaikan hak yang lainnya dengan cara yang makruf.” (Tafsîr al Qur`ân al Adzîm: 1/609)
Muhammad al Thâhir bin ‘Asyûr berkata, “Ayat ini adalah deklarasi dan sanjungan atas hak-hak wanita.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 2/399)
Mutiara Yang Harus Dijaga
Selain menjamin hak-hak wanita, Islam pun menjaga kaum wanita dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkannya sebagai makhluk yang mulia yang harus dijaga. Atas dasar inilah kemudian sejumlah aturan ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dan agar berikutnya, kaum wanita dapat menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik umat generasi mendatang.
Muhammad Thâhir ‘Asyûr rahimahullah berkata, “Agama Islam sangat memperhatikan kebaikan urusan wanita. Bagaimana tidak, karena wanita adalah setengah dari jenis manusia, pendidik pertama dalam pendidikan jiwa sebelum yang lainnya, pendidikan yang berorientasi pada akal agar ia tidak terpengaruh dengan segala pengaruh buruk, dan juga hati agar ia tidak dimasuki pengaruh setan…
Islam adalah agama syariat dan aturan. Oleh karena itu ia datang untuk memperbaiki kondisi kaum wanita, mengangkat derajatnya, agar umat Islam (dengan perannya) memiliki kesiapan untuk mencapai kemajuan dan memimpin dunia.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 2/400-401)
Di antara aturan yang khusus bagi wanita adalah aturan dalam pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Aturan ini berbeda dengan kaum laki-laki. Allah memerintahkan demikian agar mereka dapat selamat dari mata-mata khianat kaum laki-laki dan tidak menjadi fitnah bagi mereka.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzâb [33]: 59)
Wanita pun diperintah oleh Allah untuk menjaga kehormatan mereka di hadapan laki-laki yang bukan suaminya dengan cara tidak bercampur baur dengan mereka, lebih banyak tinggal di rumah, menjaga pandangan, tidak memakai wangi-wangian saat keluar rumah, tidak merendahkan suara dan lain-lain.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmudan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzâb [33]: 33)

Semua syariat ini ditetapkan oleh Allah dalam rangka menjaga dan memuliakan kaum wanita, sekaligus menjamin tatanan kehidupan yang baik dan bersih dari prilaku menyimpang yang muncul akibat hancurnya sekat-sekat pergaulan antara kaum laki-laki dan wanita. Merebaknya perzinahan dan terjadinya pelecehan seksual adalah diantara fenomena yang diakibatkan karena kaum wanita tidak menjaga aturan Allah diatas dan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penanggungjawab mereka lalai dalam menerapkan hukum-hukum Allah atas kaum wanita.
Penutup
Akhirnya, dengan keterbatasan ilmu dan kata, penulis merasa bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun mudah-mudahan paling tidak dapat sedikit menjawab keragu-raguan yang mungkin hinggap pada benak sebagian kaum muslimin tentang pandangan Islam terhadap wanita, disebabkan karena merebaknya opini keliru yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak menginginkan syariat Islam tegak menopang sendi-sendi kehidupan umat manusia
***
Wallâhu a’alam bish-shawâb wa shallallâhu ‘alâ nabiyyinâ Muhammad.

Riyadh, 22 Jumada Tsani 1433 H
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc (Alumni Universitas Al Azhar Mesir, Da’i di Islamic Center Bathah Riyadh KSA)