sa'at shalat

Minggu, 29 Juli 2012


Ensiklopedi Hukum Islam: Asbabun Nuzul (2-habis)


Ensiklopedi Hukum Islam: Asbabun Nuzul (2-habis)




REPUBLIKA.CO.ID, Menurut Quraish Shihab, asbab an-nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat tidak akan turun. Pemakaian kata asbab
bukanlah dalam arti sebenarnya.

Tanpa terjadinya suatu peristiwa, Alquran tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti turunnya ayat Alquran dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Alquran tidak berbentuk fisik atau materi.

Pengertian turun, menurut para mufasir, mengandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam gaib ke alam nyata melalui Malaikat Jibril.

Peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya suatu ayat atau beberapa ayat tersebut, di antaranya bisa berbentuk sebagai berikut:

1. Sikap permusuhan, seperti pertengkaran yang terjadi antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di Madinah akibat hasutan licik Syas bin Qaisy, seorang Yahudi Madinah. Dalam kasus ini Allah SWT menurunkan Surah Ali Imran (3) ayat 100.

2. Terjadinya suatu kekeliruan akibat suatu perbuatan dosa, seperti seorang sahabat yang menjadi imam shalat dalam keadaan labuk sehingga ia keliru dalam membaca ayat 2 Surah Al-Kafirun (109).
Ayat tersebut semestinya berbunyi, "la a'bud ma ta'budun (saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah)", tetapi ketika menjadi imam sahabat tersebut membaca, "a’bud ma ta'budun" (saya menyembah apa yang kalian sembah). Kekeliruannya adalah tidak membaca kata la. Dalam kasus ini turun Surah An-Nisa ( 4) ayat 43.

3. Pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa yang diajukan kepada Rasulullah SAW, baik peristiwa masa lalu, yang sedang terjadi, maupun yang akan datang.
Misalnya, Allah SWT menurunkan surah Al-Kahfi (18) ayat 83 ketika pertanyaan masa lalu diajukan kepada Rasulullah SAW, Allah SWT menurunkan Surah An-Nazi 'at (79) ayat 42 yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah SAW tentang masa yang akan datang, yaitu hari kiamat.

Ensiklopedi Hukum Islam: Asbabun Nuzul (1)



Ensiklopedi Hukum Islam: Asbabun Nuzul (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Bahasa Arab, Asbabun Nuzul berarti sebab-sebab turun. Yang dimaksudkan adalah sebab turunnya satu atau beberapa ayat Alquran.

Muhammad Abdul Azim Az-Zarqani, seorang pakar tafsir, mendefinisikan asbab an-nuzul sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut.
Peristiwa yang terjadi tersebut bukan secara otomatis menjadi penyebab turunnya ayat yang membicarakan kasus itu. 

Oleh sebab itu, para ahli tafsir mengatakan bahwa hubungan peristiwa yang terjadi dengan turunnya ayat yang membicarakan peristiwa tersebut bukan dalam hubungan kausalitas (sebab akibat), tetapi memang Allah SWT ingin menurunkan ayat itu pada saat atau sedang terjadinya peristiwa tersebut.

Menurut Az-Zarqani, dilihat dari segi peristiwa yang berkaitan dengan turunnya ayat Alquran, maka turunnya ayat Alquran itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada peristiwa yang terjadi ketika ayat itu diturunkan oleh Allah SWT. Turunnya ayat atau beberapa ayat ini semata-mata merupakan petunjuk Allah SWT kepada manusia. 

Kehendak-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia inilah yang menjadi asbab dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Walaupun tidak atau belum diketahui konteks peristiwa turunnya ayat itu dalam sejarah.

Sebagaimana yang dikemukakan Dr Muhammad Quraish Shihab (ahli tafsir), ayat Alquran tidak diturunkan dalam masyarakat hampa budaya. Sekalipun peristiwa turunnya ayat atau beberapa ayat tidak atau belum terungkapkan, tetapi ayat Alquran itu turun untuk mengantisipasi keadaan yang ada pada masa Rasulullah SAW.

Kedua, ayat yang diturunkan Allah SWT berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu. Ayat seperti ini jumlahnya tidak banyak.
Misalnya, Allah SWT menurunkan Surah An-Nisa' (4) untuk menjelaskan berbagai kasus yang berhubungan dengan kaum wanita, Surah Al-Anfal (8) untuk menjelaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan perang dan lain sebagainya.

Syariat Puasa Ramadhan



Syariat Puasa Ramadhan  
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MArepublika.co.id

Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi terdahulu. 


Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka. 

Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.” 

Pernyataan Dawud AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).

Nabi Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun. 

Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi karena hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan kesukuan. 

Untuk membedakannya, Rasul SAW kemudian mensyariatkan puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Ibunda Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang berbeda dengan para pendahulunya, yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman, “Maka jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).

Keempat riwayat di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi rujukan  disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda. 

Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh Rasul SAW menjadi puasa sunah.

Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184). 

Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah. Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185). 

Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun, setelah sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya pada satu malam Ramadhan kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187 yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. 

Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.
10 Ramadhan 1433



Karakter yang Dicintai Allah



Karakter yang Dicintai Allah  

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
republika.co.id


Cinta adalah kecocokan dua hati atau dua pihak. Ia tidak dapat diperintahkan atau dipaksakan. Ia hadir sebagai buah kecenderungan dan kecocokan nilai-nilai. 

Cinta tidak dapat diobral dengan kata-kata. Ia harus merupakan bukti yang didasari niat baik, hati mendalam dan jiwa mulia.

Allah SWT mencintai beberapa karakter dari kepribadian seorang Muslim. Sesuai dengan dzat-Nya yang Agung, Baik, Mulia, Istimewa, dan sederet sifat baik lainnya, maka unsur-unsur kebaikan itu menjadi inti dari karakter yang dicintai Allah SWT.

Rasulullah SAW menunjukkan jalan kepada kita bahwa untuk memiliki karakter yang dicintai Allah SWT, kita harus memenuhi ketentuan berikut ini: "Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31).

Iman kepada rasul, mengikuti risalahnya, menaati perintahnya, dan menjauhi larangannya merupakan kunci menjadi pribadi yang dicintai Allah. Hal itu karena kegiatan tersebut menjadi bukti nyata kecintaan dan keberpihakan kita pada sifat-sifat keagungan, kebaikan, kemuliaan, keistimewaan dan sifat baik lainnya yang menjadi karakter asli Allah SWT.

Dalam menjawab seorang sahabat yang ingin menjadi bagian dari orang yang dicintai Allah SWT, Rasulullah SAW menyatakan, "Cintailah Apa yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, dan bencilah apa yang dibenci oleh Allah dan rasul-Nya."(HR. Ahmad).

Umumnya, mereka yang memiliki karakter tersebut adalah orang-orang yang gemar berbuat baik (muhsinin), bertaubat (tawwabin), bertakwa (muttaqin) dan berserah diri (mutawakkilin) kepada Allah SWT sebagaimana tersebut dalam fiman-Nya sebagai berikut:

Pertama, "Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Al Baqarah: 195; QS. Ali Imran:134 dan 148; QS. Al Maidah: 13 dan 93). Muhsinin di sini adalah orang-orang yang memperbaiki terus amal salehnya, melebihi persyaratan normalnya, dan meningkatkan nilai dan substansi kebaikannya. Kebaikan mereka melebihi kebaikan rata-rata manusia dan di luar batas kemanusiaannya.

Kedua, "Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222). Mereka ini dicintai Allah karena senantiasa berhasrat merubah masa lalu yang buruk menjadi baik, tidak mengulang kesalahan (dosa) dan menyegerakan diri dalam garis ketuhanan semata-mata karena takut kepada Allah dan berharap ridha-Nya.

Ketiga, "Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali imran: 76; QS. At Taubah: 4 dan 7). Takwa adalah perisai, perhiasan dan bekal paling baik di dunia. Ketakwaan mencerminkan keimanan dan amal saleh. Iman dan amal saleh mengantarkan pelakunya ke surga. 

Keempat, "Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berserah diri." (QS. Ali Imran: 159). Berserah diri merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan oleh seorang mukmin setelah menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan memenuhi semua kriteria yang diperlukan sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. 

Berserah diri tersebut menjadi prasyarat dihasilkannya tujuan sesuai yang diharapkan. Selanjutnya adalah kuasa Allah SWT, Dzat yang mengetahui secara pasti kegaiban yang terdapat dalam proses menuju hasil dan tujuan.

Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (3-habis)



Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (3-habis)  

REPUBLIKA.CO.ID, Mendengar nasihat itu, Wahsyi berangkat ke Madinah. Di hadapan Rasulullah ia menyatakan diri masuk Islam. 

Namun, begitu mengetahui Wahsyi adalah pembunuh pamannya, Hamzah, Rasulullah memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terjadi sampai beliau wafat.

Walaupun Wahsyi tahu bahwa Islam menghapus dosa-dosanya yang telah lalu, tapi ia tetap menyesal. Ia tahu, musibah yang ia timpakan kepada kaum Muslimin saat itu sangat besar dan keji. 

Ia telah membunuh seorang pahlawan Islam secara licik dan tidak jantan. Karena itu, Wahsyi selalu menunggu kesempatan untuk menebus dosanya.

Setelah Rasulullah wafat, pemerintahan beralih ke tangan Abu Bakar Shiddiq RA. Di bawah pimpinan Musailamah, Bani Hanifah dari Nejed, murtad dari agama Islam. Khalifah Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah ke pangkuan Islam.

Wahsyi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bersama pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, ia berangkat ke medan Yamamah. Tidak lupa lembing yang ia pakai untuk membunuh Hamzah, ia bawa. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh Musailamah atau ia tewas sebagai syahid.

Ketika kaum Muslimin berhasil mendesak Musailamah dan pasukannya ke arah “Kebun Maut”, Wahsyi termasuk salah seorang yang selalu mengintai nabi palsu itu.
Saat Al-Barra’ bin Malik berhasil membuka pintu gerbang pertahanan musuh, Wahsyi dan kaum Muslimin tumpah ruah menyerbu markas Musailamah. Seorang Anshar turut mengincar Musailamah seolah-olah tidak boleh ada orang lain yang mendahuluinya.

Wahsyi bin Harb melompat ke depan. Setelah berada dalam posisi yang tepat, ia bidikkan lembingnya ke arah sasaran. Begitu dirasa tepat, Wahsyi melemparkan senjatanya! Lembing melesat ke depan mengenai sasaran.

Pada saat yang sama, prajurit Anshar yang sejak semula turut mengincar, melompat secepat kilat dan memukul leher Musailamah dengan pedangnya.

Hanya Allah-lah yang Mahatahu, siapa sebenarnya yang membunuh Musailamah. Wahsyi atau prajurit Anshar? Jika benar yang membunuhnya adalah Wahsyi, berarti ia telah menebus kesalahannya membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud. Apakah ganjaran orang yang telah membunuh musuh Islam kecuali surga?

Inilah Berkah Makan Sahur



Inilah Berkah Makan Sahur  

REPUBLIKA.CO.ID,  Rasulullah SAW pernah menjelaskan melalui sabdanya, "Beda antara puasa kami dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim dan Abu Daud).

Allah SWT mewajibkan puasa kepada kaum Muslimin, seperti Dia telah mewajib­kannya kepada Ahli Kitab sebelum Muhammad SAW Pada mulanya. Waktu dan hukumnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan kepada Ahli Kitab sebelum Muhammad, yaitu tidak bcieh makan, tidak boleh minum, dan tidak boleh bersetubuh lagi sesudah tidur (selama waktu puasa).

Kemu­dian Rasulullah SAW melakukan sunah makan sahur, lain dari apa yang dilakukan Ahli Kitab yang terdahu­lu Rasulullah SAW menamakan makan sahur itu bagai At-Ghidza At-Mubarak. Kata beliau. "Mari makan Ghidza' Al-Mubarak, yaitu makan sahur."

Makan sahur itu merupakan suatu keberkahan, karena ia mengikuti sunah Rasulullah. Tujuannya, menguatkan orang yang puasa dan menambah semangat orang untuk terus berpuasa karena ringan dan berkurangnya beban yang diderita. Allah SWT melipatkan ampunan dan rahmat-Nya kepada orang-orang yang bersahur.

Begitu pula para malaikat-Nya memohon ampunan untuk mereka, memintakan limpahan karunia-Nya. Supaya mereka dibebaskan Al- Khaliq dari kesempitan akal, kekerdilan hati, kejumudan, dan segala hal yang merugikan dalam bulan turunnya Alquran ini.

Mengundurkan makan sahur hingga sebelum fa­jar sangat terpuji, karena Rasulullah dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur, kemudian sesudah sele­sai makan langsung Nabi Muhammad saw pergi menunaikan shalat Subuh.

Antara usai makan sahur Nabi SAW dan pergi shalatnya itu kira-kira sebanyak orang membaca 50 ayat Alquran. Mengenai sunah ini dikatakan, kare­na kebiasaan orang Arab mengira-ngirakan waktunya dengan pekerjaannya. Maka Zaid pun mengisya­ratkan pada bacaan ayat Alquran, selain untuk meng­isyaratkan juga bahwa masa Ramadhan adalah wak­tu ibadah, dan bacaannya tentu saja dengan pema­haman.

Adapun makan sahur seorang Mukmin yang paling utama ialah buah kurma. Sabda Rasulullah SAW, "Sebaik-baik makan sahur seorang Mukmin ialah kurma."

Namun, bagi yang tidak memiliki makanan sahur, tetap dianjurkan untuk minum meskipun hanya seteguk air. Nabi Muhammad SAw menjelaskan, "Makan sahur se­luruhnya berkah, janganlah kalian meninggalkannya Meskipun hanya minum seteguk air, karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur."

Rasulullah SAW juga bersabda, "Siapa yang hendak berpuasa hendak- bersahur meskipun hanya sedikit."

Untuk itu, sangat dianjurkan untuk manfaatkan kesempatan mendapatkan pahala besar yang disediakan oleh Allah Yang Maha Rahman dan Rahim buat mereka yang bersahur itu.

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi SAW mengatakan, "Saya pergi menemui Nabi SAW sedang makan sahur, lalu Beliau SAW bersabda, "Ia (sahur) suatu keberkahan yang diberikan Allah ke­pada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan dia.

Sumber: Ramadhan Bulan Seribu Bulan, Oleh; Yusuf Wibisono.

Inilah Tujuan dan Keutamaan Puasa

Minggu, 29 Juli 2012
  
 Inilah Tujuan dan Keutamaan Puasa

REPUBLIKA.CO.ID, Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45).

Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.

Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. 

Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji. 

Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.

Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.

''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi).

Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.

Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT.  

Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.

Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesama yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.

Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual. 

Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.

Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).

Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (2)



Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (2)  

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Ia memang telah mengenalnya sebelum itu. 

Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.

Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah maju bagaikan unta kelabu, merobohkan lawn-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.

Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quraisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.

“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.

Hamzah menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah.

Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan lembingnya. Setelah dirasa mantap, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah. Lembing melesat ke depan dan tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah, tembus ke selangkangannya.

Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Allah’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan lembing bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar tewas, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut lembingnya lalu kembali ke perkemahan karena tidak ada kepentingan selain itu.

Pertempuran berkecamuk dengan sengitnya. Korban pun mulai berjatuhan. Tatkala tentara kaum Muslimin mengalami desakan hebat, Hindun dan beberapa wanita lainnya keluar dari perkemahan, lalu melangkah di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

Satu persatu ia bedah perut dan ia congkel mata mereka. Sedangkan hidung dan telinga, ia potong lalu dibuatnya menjadi kalung dan ia pakai. Hati Hamzah bin Abdul Muthalib ia kunyah dan muntahkan kembali.

Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Makkah bersama rombongan tentara Quraisy. Sampai di Makkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.

Hari-hari terus berlalu. Kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.

Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Makkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thaif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.

Penyesalan datang menghinggapi dirinya. Bumi yang luas terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya, “Percuma saja engkau melarikan diri, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya,” ujar sahabat tersebut.

Keajaiban Puasa dan Rahasia Makanan (Bag 2)


Keajaiban Puasa dan Rahasia Makanan (Bag 2)  
REPUBLIKA.CO.ID, Tidak seorang pun ahli medis baik muslim maupun non muslim meragukan manfaat puasa bagi kesehatan manusia.
Dalam buku berjudul Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam karya Mahmud Ahmad Najib (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Ain-Syams Mesir) ditegaskan, puasa sangat berguna bagi kesehatan.
Di antara manfaat tersebut, puasa memperkecil sirkulasi darah sebagai perimbangan untuk mencegah keluarnya keringat dan uap melalui pori-pori kulit serta saluran kencing tanpa perlu menggantinya.
Menurut buku tersebut, curah jantung yang mendistribusikan darah ke seluruh pembuluh darah akan membuat sirkulasi darah menurun. Dan itu memberi kesempatan otot jantung masa istirahat setelah bekerja keras satu tahun lamanya. Puasa memberi kesempatan pada jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan selnya.
Selain itu, masih menurut buku tersebut, puasa memberi kesempatan kepada alat-alat pencernaan untuk beristirahat karena ketika seseorang berpuasa, lambung dan ususnya beristirahat selama beberapa jam dari kegiatannya. Proses penyerapan makanan juga berhenti sehingga asam amoniak, glukosa, dan garam tidak masuk ke usus. Sehingga, sel-sel usus tidak mampu menghasilkan komposisi glikogen, protein, dan kolesterol.
Seorang ahli dari Amerika, Allan Cott, M.D., telah menghimpun hasil pengamatan dan penelitian para ilmuwan berbagai negara dalam buku Why Fast, yangmembeberkan sejumlah hikmah puasa. Antara lain memunculkan perasaan lebih baik secara fisik dan mental, membersihkan tubuh, menurunkan tekanan darah dan kadar lemak, menjadikan badan sehat dengan sendirinya, menumbuhkan kemampuan mengendalikan diri sendiri, dan memperlambat proses penuaan.
Lebih jauh, dunia ilmiah telah membuktikan bahwa proses detoksifikasi saat puasa, seperti dipaparkan praktisi dan pengkaji kedokteran Nabi, dr. Mohammad Ali Toha Assegaf (2009), dalam 365 Tips Sehat ala Rasulullah. Ia menuliskan, pada kotoran (feces) dan air seni orang yang berpuasa ditemukan racunorganophosphat. Bahan racun tersebut disimpan dalam sel-sel adipose (lemak) dalam tubuh yang mengalami pembongkaran dengan cepat saat seseorang berpuasa.

Sabtu, 28 Juli 2012


Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (1)



Wahsyi bin Harb, Pembunuh yang Masuk Surga (1)  

REPUBLIKA.CO.ID, Wahsyi bin Harb dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quraisy. 

Pamannya, Thu’aimah bin Adi, tewas dalam Perang Badar di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dia sangat sedih dan geram dengan kematian pamannya itu. Ia senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.

Tidak beberapa lama kemudian, kaum Quraisy mengambil keputusan untuk pergi ke Uhud guna menghukum Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah membunuh kawan-kawan mereka pada saat Perang Badar. Dibentuklah sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. 

Abu Sufyan memutuskan untuk mengikutsertakan para wanita, yang keluarga mereka telah terbunuh dalam Perang Badar untuk menggelorakan semangat prajurit dalam berperang. Mereka ditempatkan di samping laki-laki untuk mencegah mereka agar tidak melarikan diri.

Di antara para wanita yang pertama-tama mendaftarkan diri adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Ayahnya, Utbah bin Rabfah dibunuh oleh Ubaidah bin Harits. Pamannya, Syaibah bin Rabi’ah tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan saudaranya, Al-Walid bin Utbah mati di tangan Ali bin Abi Thalib.

Semuanya tewas di medan Badar. Karena itu dendam Hindun sangat besar terhadap kaum Muslimin, terutama Hamzah bin Abdul Muthalib.

Ketika pasukan Quraisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan''

“Bagaimana caranya" tanya Wahsyi.

“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan." kata Jubair.

“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.

“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.

Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil lembingnya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quraisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar lembing. Lemparannya tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.

Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah lembingnya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutkan bela dari Muhammad atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”

Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (3)



Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (3)  

REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya Khadijah memberikan budaknya, Zaid, sebagai pelayan untuk Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. 

Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Makkah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya.

Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada rombongan itu ia berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”

Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Makkah, bersama seorang saudaranya. Di Makkah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad Al-Amin (tepercaya).

Setelah berhadapan muka dengan Muhammad, Haritsah berkata, “Wahai ibnu Abdil Muthalib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas dan memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkannya kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi beliau juga merasakan hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka beliau mempersilakan Zaid untuk memilih, tinggal dengannya atau ikut ayahnya.

Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang lain yang saya pilih kecuali anda. Andalah ayah, dan andalah pamanku!”

Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu berseru, “Saksikan oleh kalian semua! Mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”

Keajaiban Puasa dan Rahasia Makanan (Bag 1)


  
Keajaiban Puasa dan Rahasia Makanan (Bag 1)

REPUBLIKA.CO.ID, Dikisahkan, seorang tabib diutus oleh Raja Mesir, Muqauqis, kepada Rasulullah SAW sebagai bentuk solidaritas sosial untuk mengobati penduduk Madinah secara cuma-cuma.
Namun ternyata tak ada seorang pasien pun datang berobat padanya setelah sang tabib bermukim beberapa lama di Madinah.
Setelah melakukan peninjauan terhadap penduduk kota, ia tak menemukan seorang penduduk pun memiliki keluhan kesehatan. Akhirnya, sang tabib memutuskan untuk meninggalkan Madinah karena merasa tak ada yang perlu ia obati di sana.
Ketika berpamitan kepada Rasulullah SAW, ia mengutarakan kekagumannya pada pola hidup kaum Muslimin, sambil berkata, “Tuan, izinkan kami mengetahui rahasia apakah yang menyebabkan tak seorang pun mengeluh sakit di sini?”
Rasulullah menjawab, "Kami kaum yang tidak makan hingga kami merasa lapar, dan ketika makan kami tidak (makan sampai) kenyang." (HR. Abu Dawud)
Kesehatan berkaitan erat dengan pola makan. Melalui hadis di atas, kita diajarkan untuk tidak berlebihan memasukkan makanan ke dalam sistem cernanya. Terlebih, Alquran memerintahkan hal yang sama, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. al-A’raf: 31)
Sebuah hadis hasan dari Miqdam bin Ma’dikariba menegaskan hal itu. Ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah baginya memakan beberapa suap untuk sekadar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga). Jika tidak bisa demikian, maka hendaklah ia menjadikan sepertiga lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara” (HR. At-Tirmidzi)

Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (2)


Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (2)  

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah beberapa lama Su’da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an, suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok Badui yang menggerayangi desa tersebut.

Kampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mempertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. 

Dengan perasaan duka, kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Haritsah jatuh tak sadarkan diri. Ketika sadar, dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. 

Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya.

Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk hatinya yang terdalam:
“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi Allah, ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit kuterkenang kepadanya.
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merona."
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu yang terjadi di Athena, Yunani. Begitu juga di Kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di Jazirah Arab sendiri.

Syahdan, di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Ma’an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokan ke Pasar Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam.

Kemudian ia berikan kepada bibinya, Khadijah, yang waktu itu telah menjadi istri Rasulullah. Namun, beliau belum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama. Tapi, pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat sebagai Rasul-Nya.
 9 Ramadhan 1433


Inilah Jalan Menuju Surga

Minggu, 29 Juli 2012

Inilah Jalan Menuju Surga  

REPUBLIKA.CO.ID,  Suatu malam, Rasulullah SAW memanggil pembantunya, Rabi’ah Ka’ab Al Aslami, untuk mengambilkan air wudlu dan mengerjakan keperluan lain.
Usai Rabi’ah melaksa­nakan tugas, tiba-tiba Rasulullah bersabda, “Sekian lama engkau mengabdi kepadaku, aku belum sempat membalas jasamu. Sekarang, mintalah yang engkau suka dariku.”

Setelah berpikir sejenak, Rabi’ah menjawab, “Ya Rasulullah, aku tak berharap balas jasa. Aku cuma mohon satu hal, perkenankan aku meneruskan peng­abdian melayani engkau di surga kelak.”

Permintaan Rabi’ah membuat Nabi sulit menjawab. Nabi saw sadar tak seorang pun mampu menjamin diri sendiri masuk surga, apalagi menjamin orang lain. Karena itu beliau bertanya, “Bagaimana jika diganti dengan permintaan lain?”

Cuma itu permohonan saya, wahai Nabi, tandas Rabi’ah. “Kalau begitu, bantulah aku untuk meluluskan apa yang engkau pinta dengan memperbanyak sujud." ujar Nabi.

Permohonan Rabiah, mencerminkan sikap awam yang sadar akan keawamannya. Kesadaran membangkitkan kecintaan dan pengabdian mereka kepada orang-orang saleh. Kalaupun mereka tak mampu menjadi saleh. setidaknya mereka bisa menyer­tai orang-orang saleh itu di akhirat kelak.

Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU). KH Hasyim Asy'ari. dalam kitabnya Al Nur Al Mubin fi Mahabbah Sayyid Al Mursalin mengutip syair Arab yang kira- kira bermakna demikian. "Aku mencintai orang-orang saleh. Biarpun aku tak termasuk diantara mereka. Sebab, aku mengharapkan syafaat (pertolongan) me­reka. Sebaliknya, aku benci orang-orang yang suka berbuat maksiat, kendati aku punya hobi yang sama."

Meski kecintaan terhadap orang-orang saleh bisa mengantarkan seseorang untuk memperoleh syafaat, tapi kecintaan yang hakiki harus ditunjang dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul. Maka, dalam Quran Surah An Nisa ayat 69, Allah SWT menegaskan, “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan diikutser­takan dengan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari Allah, yakni para nabi, para shiddiqin (orang- orang yang sangat jujur dan konsisten memegang agama), para syuhada (para pejuang yang tewas se­bagai martir), dan para shalihin (orang-orang yang kaya dengan amal saleh). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Itu sebabnya, kendati Rasulullah SAW punya hak untuk meluluskan permintaan pembantunya, beliau tak serta merta mengabulkan, melainkan meminta agar Rabi'ah berusaha mewujudkan keinginannya dengan amal saleh. Antara lain dengan memper­banyak sujud.

Di bulan Ramadhan seperti sekarang, kesempat­an beramal saleh dan bersujud terbuka luas. Karena itu. rugilah mereka yang tak mampu memanfaatkan kesempatan emas ini dengan sebaik-baiknya.