sa'at shalat

Rabu, 11 Juli 2012


Tersesat di Negara Sesat

Dalam editorial edisi Sabtu, 7 Juli 2012, harian Borneonews mengangkat tajuk Tragedi Kemiskinan. Topik yang dikupas seputar aksi nekat Markiah, Janda berusia 30  tahun asal Serang, Banten yang nekat bunuh diri karena himpitan kemiskinan. Tragisnya, Markiah mengajak serta anaknya Salman yang baru berusia tiga tahun ke alam baka dengan cara menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor. Siapapun akan terenyuh mendengar kabar nahas tersebut. Akal sehat manapun sulit untuk mencerna mengapa Markiah rela memilih jalan pintas mengakhiri hidup bersama sang buah hati dengan cara yang tak pantas dari sudut etika maupun agama. Tragedi Markiah menambah deretan panjang pelaku harakiri di negeri ini yang dipicu faktor ekonomi. Semakin ironis karena peristiwa memalukan ini hanya terjadi selang dua hari setelah BPS mengumumkan angka kemiskinan berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan Maret 2012 turun 0,53 % menjadi 29,13 juta jiwa. Capaian angka yang cukup signifikan namun tidak cukup sakti menuntaskan persoalan yang sesungguhnya,.Tak berdaya bahkan sekedar untuk menghentikan seorang Markiah menemui ajal dalam penjara kemiskinan. Wajar kalau kemudian sejumlah pihak mempertanyakan validitas data BPS dalam menggambarkan kondisi real masyarakat khususnya dalam masalah ekonomi.
Data sesat dan menyesatkan Sholah (2012) secara vulgar mengatakan angka yang sering dipublikasikan BPS pada berbagai media tersebut sebenarnya belum dapat mewakili angka kemiskinan sesungguhnya di Indonesia karena  :Pertama, menurut BPS angka tersebut merupakan perhitungan makro dengan sampel hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf ). Ini berarti hanya menggunakan sampel sekitar 0,1115 persen yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di Indonesia. Kedua, itu pun dengan patokan angka kemampuan  memenuhi  kebutuhan  dasar yang tidak rasional, dengan patokan Rp 230.000 per kapita penduduk per bulan. Lalu bagaimana orang yang hanya menghasilkan Rp 270.000 sebulan ? Itu kan berarti dia hanya punya Rp 9.000 sehari, apakah cukup uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dalam sehari? Ketiga, kebutuhan pokok berupa keamanan, kesehatan dan pendidikan masih banyak ditanggung oleh warganya sendiri. Sehingga patokannya semestinya bukan rupiah (kuantitatif) namun gabungan antara kualitatif dan kuantitatif. (www.hizbut-tahrir.or.id )
Belajar dari kasus Markiah, data BPS terbukti terbukti sesat dan menyesatkan karena tidak mampu menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Terdapat jurang yang begitu lebar antara data dan fakta di lapangan.  Sayangnya, pemerintah hingga kini secara sadar ikut-ikutan tersesat karena menjadikan data BPS sebagai patokan dalam menyelesaikan problem kemiskinan.  Pada aspek teknis, BPS perlu melakukan perbaikan strategis dalam pemetaan kemiskinan agar data yang tersaji benar benar valid, objektif dan netral dari intervensi kekuatan politik manapun. Tak cukup sampai disitu. Para pemimpin negeri ini dari level pusat  hingga daerah (gubernur dan bupati/walikota) perlu semakin bijaksana dengan berhenti menjadikan data BPS sebagai satu satunya barometer dalam mengukur hasil pembangunan maupun dagangan politik saat kampanye pilkada.  Tanpa perlu terjebak pada angka statistik, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah mampu memberikan jawaban tuntas mengapa negeri yang gemah ripah loh jinawi ini belum mampu lepas dari rantai  kemiskinan.
Sekulerisme : biang masalah Menarik apa yang diungkapkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Pusat Rokhmat S Labib. Dalam pidato politiknya, Rokhmat mengungkapkan bahwa seluruh problematika di negeri ini termasuk kemiskinan dipicu oleh dua faktor. Satu diantaranya adalah penerapan sistem yang rusak dan bobrok.
Sistem rusak yang dimaksud adalah penerapan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) sekaligus sebagai pondasi tegaknya ekonomi kapitalisme di Indonesia. Lewat mekanisme ekonomi kapitalisme, pemerintah dengan ikhlas melego seluruh kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah kepada pihak swasta/korporasi baik asing, nasional maupun lokal. Kebijakan kapitalistik ini semakin kuat mengakar karena mendapat legitimasi oleh  seabrek UU liberal semisal UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Ketanagalistrikan, UU Perkebunan, UU Minerba, dan lain-lain. Alhasil,  kekayaan alam Indonesia termasuk di Provinsi Kalteng seperti tambang batu bara, emas, dan hasil perkebunan dengan mudah di kuasai (dirampok) para pengusaha/korporasi. Konklusi ini bukan isapan jempol. Buktinya, pada skala lokal Kecamatan Arut Utara, yang kaya SDA dan di kelilingi sejumlah perkebunan besar sawit, hutan tanaman industri serta tambang emas justru menjadi daerah yang paling tertinggal jika dibandingkan dengan lima kecamatan lainnya di Kabupaten Kobar. Masyarakat Pangkut harus  hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur karena sumber -sumber  ekonomi seperti tambang, hutan dan kebun menjadi terbatas karena sudah di kuasai oleh pihak swasta. Sementara pemerintah hanya membiarkan sembari berharap pada pajak dan belas kasih perusahaan dalam bentuk CSR yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan dari hasil mengeruk kekayaan alam. Inilah yang sering diistilah sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi bukan karena faktor budaya (malas) masyarakat. Melainkan karena pemerintah secara sistematik didukung legitimasi undang undang membatasi akses ekonomi rakyat dan sebaliknya, membuka akses tersebut seluas luasnya kepada korporasi atas nama investasi. Hasilnya, rakyat Kalteng dan Indonesia pada  umumnya tak mampu menikmati kesejahteraan di tanah sendiri dan menderita secara ekonomi meski sudah merdeka lebih dari setengah abad. Petaka tidak berhenti sampai di situ. Pada level institusi, UU liberal ini telah memangkas fungsi pemerintah sebagai pelayan rakyat menjadi pengamat  tanpa mampu berbuat banyak. Semuanya dikembalikan kepada mekanisme pasar bebas berbasis hukum rimba. Yang kuat menindas yang lemah. Alhasil, kehidupan menjadi semakin sempit karena kebutuhan sandang, papan dan pangan bukan lagi tanggung jawab pemerintah dan beralih kepada setiap pundak warga negara. Tak peduli rakyat kaya atau miskin, tua atau muda dan mampu atau tidak memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat. Pemerintah hanya bertugas sebagai wasit yang menjamin mekanisme pasar dan persaingan (baca : penindasan) berjalan secara bebas. Sistem kejam ini lah yang turut menjadikan Markiah dan para pendahulunya menjadi korban kemiskinan struktrul dan kehilangan semangat hidup.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa  negeri ini sudah lama tersesat dalam jurang kehancuran  karena menjalankan sistem yang rusak. Kesesatan yang terjadi ibarat seorang pasien meminum racun  dan mengira apa yang diminum sebagai obat yang menyembuhkan. Sembuh tak didapat, sakit justru semakin parah dan pada akhirnya berujung pada kematian. Sebelum petaka ini betu betul terjadi, bangsa ini harus segera memutar haluan dan berhenti berharap pada kapitalisme. Sudah saatnya kita melirik Islam sebagai solusi alternatif yang sudah teruji dan terbukti menciptakan kesejahteraan bagi semua. Kecuali bagi mereka yang masih betah tersesat di negara sesat. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar