sa'at shalat

Selasa, 30 Oktober 2012


 Mencintai Para Sahabat Nabi
Rabu, 15 DZulhijjah 1433 / 31 Oktober 2012

Dari Abdullah bin Mas’ud (semoga Allah meridhainya), dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku karena, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud tidaklah akan menyamai infak sebanyak genggaman tangan mereka dan tidak pula setengahnya.” (H.R. Tirmidzi dan Abu Dawud)
“Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (semoga Allah meridhai mereka)” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan kata shahabatu rasulillah atauash shahabah saja atau ashhabu rasulillah. Ada kata lain yang juga sering digunakan untuk menyebut sahabat Nabi, yakni shahbu, seperti yang biasa kita dengar dalam kalimat shalawat wa ‘alaa alihi washahbihi. Jika dalam bahasa Arab disebut ash shahabah, maka maksudnya tidak lain adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nah, ash shahabah merupakan kata jamak dari ash shahabi. Dan, ash shahabi didefiniskan sebagai orang yang berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beriman kepadanya, dan wafat dalam keadaan iman.
Jadi, sahabat Nabi adalah generasi pertama umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Generasi yang hidup, beriman kepadanya, dan berjuang bersamanya. Generasi sesudah mereka, yakni kaum Muslimin yang tidak berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan hanya berjumpa dengan para sahabat disebut tabi’in. Dan, generasi sesudah itu disebut tabi’ut-tabi’in.
Generasi sahabat adalah generasi rabbani yang tiada taranya di dalam sejarah. Disebut generasi rabbani karena mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta mereka kepada diri dan keluarganya. Mereka menerima Islam, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan kemudian memperjuangkannya. Tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa hari-hari kita mendapatkan hidayah untuk beribadah kepada Allah adalah buah dari perjuangan dan pengorbanan para sahabat Nabi. Terutama, generasi awal yang turut serta dalam perang Badar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentang peran para sahabat dalam perjuangan menaburkan cahaya kebenaran dalam kehidupan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menyatakannya saat melantunkan doa menjelang kecamuk perang Badar tersebut. “Ya Allah, jika kelompok ini (para prajurit Badar) binasa, niscaya Engkau tak lagi disembah di muka bumi,” demikian lantunan doa Rasulullah.
Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran tanpa dapat dibahayakan oleh orang yang menentang dan menistakan mereka…” maka mata rantai paling utama dari perjalanan penegakkan kebenaran itu adalah generasi pertama, yakni para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka begitu mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau pun begitu mencintai mereka. Gambaran kecintaan mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sulit dicari tandingannya pada generasi mana pun. Bahkan, Allah SUbhanahu wa Ta’ala menyebut mereka sebagai khairu ummah atau umat terbaik, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Sungguh luar biasa nilai dan keutamaan para sahabat itu. Bukan saja telah mencatatkan kejayaan dan kemuliaan bagi umat pada masanya, mereka juga hingga kini terus memberikan inspirasi dan semangat yang tidak pernah terbendung. Karena, mereka adalah generasi mukhlishin (orang-orang ikhlas) sehingga segala jejak amalnya memiliki pengaruh yang tiada terhenti. Semangat kebangkitan dari keterpurukan dan perlawanan terhadap kebatilan serta penjajahan hari ini, banyak mengambil inspirasi dari mereka.
Dapatlah dimengerti jika ada pihak-pihak yang berupaya untuk memutus komunikasi spiritual dan komunikasi sejarah antara umat hari ini dengan para sahabat Rasul. Upaya memutus komunikasi itu misalnya dengan mengatakan, “Untuk apa selalu berbicara masa lalu (para sahabat)? Masa lalu tidak akan kembali. Model kehidupan masa lalu tidak mungkin diterapkan hari ini. Adalah kebodohan untuk menjiplak perilaku orang yang hidup di masa lalu untuk diterapkan hari ini.” Memang, selalu ada saja orang-orang yang khawatir bahwa semangat perjuangan Islam akan bergelora kembali zaman sekarang. Padahal, perjuangan Islam bertujuan memberdayakan, menegakkan keadilan, dan mensejahterakan manusia.
Ada lagi yang membenci, mencaci maki, menistakan, bahkan mengkafirkan para sahabat Nabi itu. Tanpa segan dan risi, para pencaci itu mengumbar kebencian dan melekatkan julukan-julukan yang mereka buat sendiri kepada orang-orang yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam cintai itu. Dengan ‘gagah berani’, para pencela itu memosisikan diri (tanpa mendapat legitimasi dari siapa pun) sebagai hakim yang menghukumi orang-orang yang telah nyata-nyata berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Apa dampaknya? Jika para sumber informasi dan ilmu tentang Al-Quran dan sunnah itu ‘dibantai’ dengan cara dicaci dan dikafirkan, maka akan lenyaplah sejumlah sendi Islam dan tumbanglah sekian banyak hal esensial dan prinsipil dalam Islam. Karena, hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memang disampaikan kepada kita melalui jalur para sahabat.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup, tidak ada pencaci sahabat selain orang munafik. Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah mewanti-wanti hal itu. Itu menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengetahui apa yang akan terjadi sepeninggal beliau, atas dasar wahyu tentu saja. Jika demikian, beliau juga pasti mengetahui kapasitas keimanan para sahabatnya dan tidak akan salah memilih atau menilai mereka.
Hadits pertama yang menjadi pembuka tulisan ini memuat pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa peringkat pertama terbaik adalah generasi yang sezaman dengan beliau. Mereka itulah para sahabat. Peringkat kedua terbaik adalah generasi setelah sahabat, yakni generasi tabi’in. Peringkat berikutnya adalah tabi’ut-tabi’in.
Sedangkan, di hadits kedua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dengan keras mencaci atau mencela para sahabatnya. Beliau mengilustrasikan besarnya pahala perjuangan mereka tidak akan dapat dibandingkan dengan perjuangan manusia yang hidup di zaman ini. Pengorbanan kita tidak seberapa dibandingkan dengan amal para sahabat Nabi. Apalagi dibanding dengan orang yang hanya pandai mencela dan menistakan. Tentu saja masih banyak hadits-hadits lain yang memperkuat kedua hadits tersebut.
Ternyata, bukan hanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja yang memuji dan mencintai para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberikan kesaksian, pujian, dan posisi terhormat kepada mereka dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya:
“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin, dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (Q.S. At-Taubah [9]: 117)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah [9]: 100)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath [48]: 29)
Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut merupakan contoh-contoh sanjungan dan pujian Allah serta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat secara umum. Terdapat pula pernyataaan pujian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat secara khusus, orang perorang. Sebagai contoh, pujian dan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Khattab (semoga Allah meridoi mereka) sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Amr bin ‘Ash (semoga Allah meridhainya), aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling engkau cintai?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Aisyah.” Aku berkata lagi, “Dari laki-laki?” Beliau menjawab, “Bapaknya (Abu Bakar).” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Umar bin Khattab.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memuji beberapa sahabatnya. Ada sepuluh sahabat yang disebut khsusus sebagai calon penghuni surga, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Anas bin Malik, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah, dan Sa’id bin Zaid.
Tentu saja masih banyak lagi nama lain yang secara khusus dan eksplisit mendapat pujian dan kesaksian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penghuni surga, seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir, ‘Amr bin Jamuh, Ja’far bin Abi Thalib, Hasan dan Husein putra Ali, atau ‘Ukkasyah.
Karena kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Al-Quran dan Sunnah lah pegangan utama kita dalam menilai dan momosisikan para sahabat Nabi, bukan sejarah. Karena, sejarah adalah milik pengarangnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha dan cinta kepada para sahabat demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencintai dan menyanjung mereka atas segala amal, perjuangan, serta pengorbanan mereka, maka mencintai mereka adalah konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Mencintai mereka adalah ibadah kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar