sa'at shalat

Selasa, 30 Oktober 2012


 Mencintai Para Sahabat Nabi
Rabu, 15 DZulhijjah 1433 / 31 Oktober 2012

Dari Abdullah bin Mas’ud (semoga Allah meridhainya), dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku karena, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud tidaklah akan menyamai infak sebanyak genggaman tangan mereka dan tidak pula setengahnya.” (H.R. Tirmidzi dan Abu Dawud)
“Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (semoga Allah meridhai mereka)” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan kata shahabatu rasulillah atauash shahabah saja atau ashhabu rasulillah. Ada kata lain yang juga sering digunakan untuk menyebut sahabat Nabi, yakni shahbu, seperti yang biasa kita dengar dalam kalimat shalawat wa ‘alaa alihi washahbihi. Jika dalam bahasa Arab disebut ash shahabah, maka maksudnya tidak lain adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nah, ash shahabah merupakan kata jamak dari ash shahabi. Dan, ash shahabi didefiniskan sebagai orang yang berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beriman kepadanya, dan wafat dalam keadaan iman.
Jadi, sahabat Nabi adalah generasi pertama umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Generasi yang hidup, beriman kepadanya, dan berjuang bersamanya. Generasi sesudah mereka, yakni kaum Muslimin yang tidak berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan hanya berjumpa dengan para sahabat disebut tabi’in. Dan, generasi sesudah itu disebut tabi’ut-tabi’in.
Generasi sahabat adalah generasi rabbani yang tiada taranya di dalam sejarah. Disebut generasi rabbani karena mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta mereka kepada diri dan keluarganya. Mereka menerima Islam, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan kemudian memperjuangkannya. Tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa hari-hari kita mendapatkan hidayah untuk beribadah kepada Allah adalah buah dari perjuangan dan pengorbanan para sahabat Nabi. Terutama, generasi awal yang turut serta dalam perang Badar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentang peran para sahabat dalam perjuangan menaburkan cahaya kebenaran dalam kehidupan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menyatakannya saat melantunkan doa menjelang kecamuk perang Badar tersebut. “Ya Allah, jika kelompok ini (para prajurit Badar) binasa, niscaya Engkau tak lagi disembah di muka bumi,” demikian lantunan doa Rasulullah.
Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran tanpa dapat dibahayakan oleh orang yang menentang dan menistakan mereka…” maka mata rantai paling utama dari perjalanan penegakkan kebenaran itu adalah generasi pertama, yakni para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka begitu mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau pun begitu mencintai mereka. Gambaran kecintaan mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sulit dicari tandingannya pada generasi mana pun. Bahkan, Allah SUbhanahu wa Ta’ala menyebut mereka sebagai khairu ummah atau umat terbaik, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Sungguh luar biasa nilai dan keutamaan para sahabat itu. Bukan saja telah mencatatkan kejayaan dan kemuliaan bagi umat pada masanya, mereka juga hingga kini terus memberikan inspirasi dan semangat yang tidak pernah terbendung. Karena, mereka adalah generasi mukhlishin (orang-orang ikhlas) sehingga segala jejak amalnya memiliki pengaruh yang tiada terhenti. Semangat kebangkitan dari keterpurukan dan perlawanan terhadap kebatilan serta penjajahan hari ini, banyak mengambil inspirasi dari mereka.
Dapatlah dimengerti jika ada pihak-pihak yang berupaya untuk memutus komunikasi spiritual dan komunikasi sejarah antara umat hari ini dengan para sahabat Rasul. Upaya memutus komunikasi itu misalnya dengan mengatakan, “Untuk apa selalu berbicara masa lalu (para sahabat)? Masa lalu tidak akan kembali. Model kehidupan masa lalu tidak mungkin diterapkan hari ini. Adalah kebodohan untuk menjiplak perilaku orang yang hidup di masa lalu untuk diterapkan hari ini.” Memang, selalu ada saja orang-orang yang khawatir bahwa semangat perjuangan Islam akan bergelora kembali zaman sekarang. Padahal, perjuangan Islam bertujuan memberdayakan, menegakkan keadilan, dan mensejahterakan manusia.
Ada lagi yang membenci, mencaci maki, menistakan, bahkan mengkafirkan para sahabat Nabi itu. Tanpa segan dan risi, para pencaci itu mengumbar kebencian dan melekatkan julukan-julukan yang mereka buat sendiri kepada orang-orang yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam cintai itu. Dengan ‘gagah berani’, para pencela itu memosisikan diri (tanpa mendapat legitimasi dari siapa pun) sebagai hakim yang menghukumi orang-orang yang telah nyata-nyata berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Apa dampaknya? Jika para sumber informasi dan ilmu tentang Al-Quran dan sunnah itu ‘dibantai’ dengan cara dicaci dan dikafirkan, maka akan lenyaplah sejumlah sendi Islam dan tumbanglah sekian banyak hal esensial dan prinsipil dalam Islam. Karena, hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memang disampaikan kepada kita melalui jalur para sahabat.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup, tidak ada pencaci sahabat selain orang munafik. Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah mewanti-wanti hal itu. Itu menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengetahui apa yang akan terjadi sepeninggal beliau, atas dasar wahyu tentu saja. Jika demikian, beliau juga pasti mengetahui kapasitas keimanan para sahabatnya dan tidak akan salah memilih atau menilai mereka.
Hadits pertama yang menjadi pembuka tulisan ini memuat pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa peringkat pertama terbaik adalah generasi yang sezaman dengan beliau. Mereka itulah para sahabat. Peringkat kedua terbaik adalah generasi setelah sahabat, yakni generasi tabi’in. Peringkat berikutnya adalah tabi’ut-tabi’in.
Sedangkan, di hadits kedua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dengan keras mencaci atau mencela para sahabatnya. Beliau mengilustrasikan besarnya pahala perjuangan mereka tidak akan dapat dibandingkan dengan perjuangan manusia yang hidup di zaman ini. Pengorbanan kita tidak seberapa dibandingkan dengan amal para sahabat Nabi. Apalagi dibanding dengan orang yang hanya pandai mencela dan menistakan. Tentu saja masih banyak hadits-hadits lain yang memperkuat kedua hadits tersebut.
Ternyata, bukan hanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja yang memuji dan mencintai para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberikan kesaksian, pujian, dan posisi terhormat kepada mereka dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya:
“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin, dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (Q.S. At-Taubah [9]: 117)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah [9]: 100)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath [48]: 29)
Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut merupakan contoh-contoh sanjungan dan pujian Allah serta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat secara umum. Terdapat pula pernyataaan pujian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat secara khusus, orang perorang. Sebagai contoh, pujian dan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Khattab (semoga Allah meridoi mereka) sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Amr bin ‘Ash (semoga Allah meridhainya), aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling engkau cintai?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Aisyah.” Aku berkata lagi, “Dari laki-laki?” Beliau menjawab, “Bapaknya (Abu Bakar).” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Umar bin Khattab.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memuji beberapa sahabatnya. Ada sepuluh sahabat yang disebut khsusus sebagai calon penghuni surga, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Anas bin Malik, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah, dan Sa’id bin Zaid.
Tentu saja masih banyak lagi nama lain yang secara khusus dan eksplisit mendapat pujian dan kesaksian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penghuni surga, seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir, ‘Amr bin Jamuh, Ja’far bin Abi Thalib, Hasan dan Husein putra Ali, atau ‘Ukkasyah.
Karena kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Al-Quran dan Sunnah lah pegangan utama kita dalam menilai dan momosisikan para sahabat Nabi, bukan sejarah. Karena, sejarah adalah milik pengarangnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha dan cinta kepada para sahabat demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencintai dan menyanjung mereka atas segala amal, perjuangan, serta pengorbanan mereka, maka mencintai mereka adalah konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Mencintai mereka adalah ibadah kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya.

Senin, 29 Oktober 2012

PISANG DAN KEDAHSYATANYA
Selasa, 14 DZulhijjah 1433 / 30 Oktober 2012
MUZAKKI JULI 2006







PISANG MENGANDUNG TIGA GULA ALAMI, SUKROSA, FRUKTOSA, DAN GLUKOSA YANG DIKOMBINASIKAN DENGAN SERAT SEHINGGA SECARA TIDAK LANGSUNG DAPAT MENGHASILKAN ENERGI YANG BESAR. SEBUAH PENELITIAN MEMBUKTIKAN HANYA DENGAN KONSUMSI DUA (2) BUAH PISANG DAPAT MENGHASILKAN ENERGI YANG CUKUP UNTUK LATIHAN BERAT SELAMA KURANG LEBIH 90 MENIT. SEHINGGA PISANG SANGAT DIGEMARI OLEH DUNIA OLAH RAGA (ATLETIK). PISANG JUGA MENCEGAH DAN MENGATASI SEJUMLAH PENYAKIT, ANTARA LAIN ;


1. DEPRESI
    KANDUNGAN TRYPTOPHAN, SALAH SATU DARI 3 PROTEIN YANG TELAH DIUBAH MENJADI SERETONIN SEHINGGA MEMBERI        EFEK RELAKSASI DAN VITAMIN B6 YANG DAPAT MENGATUR TINKAT GLUKOSA DARAH YANG DAPAT MEMPERBAIKI MOOD.

2. ANEMIA
MENGANDUNG ZAT BESI YANG TINGGI, SEHINGGA DAPAT MENSTIMULASI PRODUKSI HEMOGLOBIN DALAM DARAH YANG DAPAT MENCEGAH ANEMIA.

3. STABILKAN TEKANAN DARAH
POTASSIUM TINGGI TAPI RENDAH GARAM. FDA AMERIKA MEMBERIKAN IJIN KEPADA PERUSAHAAN YANG PRODUKSI PISANG BAHWA IA DAPAT MENGURANGI RESIKO STROKE DAN TEKANAN DARAH.

4. TINGKATKAN KEMAMPUAN OTAK
POTASSIUM MENSTIMULASI PUPIL UNTUK LEBIH SIGAP MENERIMA INFORMASI.

5. LANCAR BAB
SERAT TINGGI.

6. IRITASI KULIT
NORMALKAN KEASAMAN KULIT SEBAGAI PEMICU IRITASI KULIT.

7. GELISAH DAN STRESS
VIT B  YANG TINGGI DAPAT MEMBANTU MENENANGKAN SISTEM SARAF. DAN POTASSIUM DAPAT MENYUPLAI OKSIGEN KE OTAK DAN MENGATUR KESEIMBANGAN AIR PADA TUBUH.

8. MEMBENTU TUBUH SAAT KELELAHAN
CAMILAN YANG TERBUAT DARI PISANG SANGAT MEMBANTU DALAM PROSES MENUJU MAKAN SIANG.

9. MENGATUR SUHU BADAN
DIPERCAYA DAPAT MEMBERIKAN KESEGARAN DAN KESTABILAN EMOSI BAGI IBU HAMIL.




Rabu, 24 Oktober 2012


Menyingkap Rahasia Ikhlas

Kamis, 9 dZulhijjah 1433 / 25 Oktober 2012

Menyingkap Rahasia Ikhlas



Oleh: Ustadz Arifin Ilham 

"Tuan guru, ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tuan dengar langsung dari baginda Rasulullah SAW," kata salah seorang pemuka Syam kepada Abu Hurairah RA.

"Sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diadili—pada pengadilan akhirat nanti—adalah seseorang yang mati dalam peperangan (mati syahid)," jawab Abu Hurairah mengutip hadis Rasulullah SAW.

Abu Hurairah berkata, "Dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT, lalu disodorkan amalannya dan Allah pun Mahamengetahuinya.” Kemudian, Allah SWT bertanya, “Apa saja yang kamu kerjakan ketika di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Saya berperang di jalan-Mu ya Allah, sampai-sampai saya mati terbunuh.” 

Allah berfirman, “Kamu bohong, yang benar kamu berperang supaya kamu dapat dikatakan sebagai 'pahlawan' dan mereka telah menyebutmu demikian.” Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya dan melemparnya ke dalam neraka.

Ada juga seseorang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain. Lalu, dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Dia-pun Mahamengetahui. Kemudian, Allah SWT bertanya, "Apa yang kamu kerjakan waktu di dunia?" Orang itu menjawab, "Saya belajar Alquran dan telah pula mengajarkannya."

"Kamu bohong, kamu belajar Alquran supaya dikatakan sebagai orang pandai, ulama, atau intelektual. Engkau membaca Alquran supaya dikatakan sebagai orang yang mampu membaca Alquran dengan baik, dan itu semua sudah dikatakan oleh mereka." Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka.

Setelah itu, ada seseorang yang diberi keluasan harta oleh Allah SWT, lalu dihadapkanlah orang tdrsebut. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Allah pun Maha Mengetahui. Allah SWT bertanya, "Apa yang kamu kerjakan ketika di dunia?" Orang tersebut menjawab, "Saya telah infakkan harta yang saya miliki demi Engkau, ya Allah." 

Allah berfirman, "Kamu bohong, kamu melakukan semua itu supaya kamu dikatakan orang yang dermawan, dan itu sudah dikatakan oleh mereka." Lalu, Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka," pungkas Abu Hurairah sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim.

Allahu Akbar. Rahasia ikhlas ternyata benar-benar tak seorang pun yang tahu. Hanya Allah yang benar-benar mengetahuinya, "Sirrun min asrariy, rahasia di antara rahasia-Ku," kata sebuah hadis Qudsi. 

Banyak ulama yang menyebut beberapa di antara tanda ikhlas. Pertama, istiqamah, terus-menerus dalam ibadah, baik ada maupun tidak ada orang, dipuji atau dihina. Kedua, tidak ‘geer’ karena pujian dan tidak sakit hati karena hinaan.

Ketiga, pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah dengan rahmat, ilmu, dan kebijakan-Nya sehingga tampaklah pada wajahnya yang selalu tersenyum. Keempat, baik sangka dengan selalu memuji Allah atas segala peristiwa dan kejadian-Nya. Kelima, qanaah, puas bukan hanya dengan nikmat Allah, melainkan atas segala keputusan Allah.

Berikutnya at-tawadhu' (rendah hati), lalu  asy-syahiyyu (ringan tangan) untuk memberi. Selanjutnya, bersemangat hanya pada yang halal karena orientasi hidupnya akhirat, memaafkan dengan mendoakan yang menyakiti, kalaupun dipuji ia balas dengan doa.

Hobi dan kesibukannya adalah bermuhasabah diri dan tidak tertarik mencari aib orang lain, lalu lisannya terus berzikir, beristighfar, dan bershalawat. Hati bertekad selalu menghidupkan sunah harian Rasulullah SAW. Dan, mudah menitikkan air mata ketika sedang dalam puncak kenikmatan taat. Wallahu a'lam.

Sepuluh Perbuatan yang Dibenci Allah

Kamis, 9 dZulhijjah 1433 / 25 Oktober 2012

Sepuluh Perbuatan yang Dibenci Allah



Oleh: Ina Salma Febriani
 
“Dan kami menurunkan Alquran sebagai obat dan rahmat bagi orang yang beriman...” (QS. Al-Isra: 82).
 
Allah menyebut Alquran dengan berbagai nama yang di dalamnya terkandung makna yang dalam. Salah satunya ialah Syifa’ (obat) dan Rahmah (kasih sayang). 

Karena rahmah-Nya, maka Allah banyak memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan dan dilarang-Nya. Petunjuk itu sebagai bentuk bahwa Allah tidak menginginkan hamba-Nya salah berbuat, bergelimang maksiat, serta melenceng dari syariat.

Dalam Alquran, bentuk kasih sayang dalam bentuk larangan dipaparkan Allah swt dalam surah Al-Isra, diawali dengan hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) yakni pembersihan akidah dan makna tersirat dalam La Ilaha illallah, disambung dengan hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas).

Pertama, larangan mempersekutukan Allah (syirik), dalam (QS al-Isra: 22. Kedua, penghormatan terhadap orang tua (QS al-Isra: 23-24).

Ketiga, penunaian hak terhadap orang miskin, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS al-Isra: 26).

Keempat, perintah jangan terlalu kikir, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS al-Isra: 29).

Kelima, larangan membunuh anak, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS al-Isra: 31).

Keenam, larangan berzina, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra: 32).

Ketujuh, larangan membunuh seseorang, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS al-Isra: 33).

Kedelapan, larangan memakan harta anak yatim, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isra: 34).
Kesembilan, larangan taqlid buta (mengikuti syariat tanpa dasar naqli yang jelas), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isra: 36).

Kesepuluh, larangan sombong, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS al-Isra: 37).

Kesepuluh larangan ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah sangat membenci perbuatan tersebut jika kita melakukannya, “Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (QS al-Isra: 38). Semoga Allah menghindarkan kita dari sepuluh perbuatan di atas. Amin.

Selasa, 23 Oktober 2012


Perhatian Islam Terhadap Akhlak


Perhatian Islam Terhadap Akhlak


REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah membuktikan, kebahagiaan menjalankan syariat Islam hanya dapat diperoleh dengan terwujudnya akhlak yang baik. 

Keterputusan hubungan antara pelaksanaan syariah dengan akhlak atau sebaliknya, merupakan hal yang dapat menghancurkan jiwa dan kehidupan manusia.

Akhlak yang dituntut untuk dipelihara adalah akhlak yang merupakan pilar agama di sisi Allah. Jadi, bukan sekedar mengetahui bahwa kebenaran adalah mulia dan kebohongan adalah hina, keikhlasan adalah sesuatu yang agung dan tipu daya adalah suatu kehancuran. Juga bukan sekedar teori atau obrolan antarmanusia.

Akhlak yang dituntut adalah reaksi jiwa dan pengaruhnya terhadap jiwa itu sendiri. Yakni, segala sesuatu yang sepatutnya dilakukan, maka dilakukannya, dan segala sesuatu yang tidak pantas dikerjakan, maka ditinggalkannya. Jadi, akhlak dalam pengertian ini adalah benteng bagi pelaksanaan seluruh syariat Islam.

Karena itu, Islam sangat mementingkan akhlak, sehingga Rasulullah SAW menjadikan akhlak sebagai pokok risalahnya, sebagaimana sabdanya,“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari).

“Sesuatu yang paling berat dalam timbangan pada hari kiamat adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. At-Turmudzi).

Untuk membentuk akhlak mulia dalam bentuk lahiriyah, hendaknya dimulai dari pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga hasilnya akan kekal.

Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Apabila gumpalan darah itu baik, maka akan menjadi baiklah seluruh tubuh, tetapi jika ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, bahwa ia adalah hati.” (HR. Muslim). 

Faktor yang Membelokkan Akhlak Seseorang



Faktor yang Membelokkan Akhlak Seseorang




REPUBLIKA.CO.ID, Imam Mawardi menuturkan bahwa akhlak yang mulia bisa berubah menjadi buas dan tidak santun. 

Seseorang yang bersifat halus dapat berubah menjadi kasar, pemaaf menjadi pemarah, dan orang yang biasa riang menjadi sering masam.

Di antara faktor yang dapat mengubah akhlak mulia itu adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh kekuasaan. Dengan kekuasaan, akhlak seseorang dapat berubah. Orang yang terbiasa berbuat keliru dapat melakukan tindakan-tindakan mungkar lain. Hal ini terjadi karena tabiat yang hina atau hati yang sempit.

2. Kehilangan kekuasaan. Hal ini dapat merusak kualitas akhlak mulia dan mempersempit hati lapang. Barangkali hal ini dilatarbelakangi oleh penyesalan berlebihan akibat jauh dari kekuasaan atau karena kurangnya kesabaran dalam jiwa.

3. Kekayaan. Ia berpotensi untuk mengubah jiwa yang lembut menjadi sosok keras dan dapat memperburuk perilaku yang telah buruk.

4. Kemiskinan. Ia dapat memengaruhi kualitas akhlak mulia karena dua alasan, yaitu karena dapat menimbulkan kesombongan merasa paling hina di dunia atau karena membuatnya menyesal karena tidak memiliki harta.

5. Kepedihan dan penderitaan. Hal ini dapat mengacaukan jiwa dan mengguncangkan hati hingga membuat seseorang tidak mampu menghadapi badai cobaan dan tidak kuat bersabar terlalu lama. Ada pepatah menyebutkan, “al-hammu kas-summi” Artinya kepedihan itu bagaikan racun.

6. Penyakit. Sesuatu yang dapat mengubah keadaan fisik juga dapat mengubah tabiat. Akhlak mulia juga mungkin tidak dapat berdiri tegap dan tetap sebagaimana mestinya hingga ia tidak mampu membendung cobaan yang datang.

7. Umur yang bertambah. Tanda-tanda penuaan pada diri seseorang dapat memengaruhi kualitas akhlak seseorang. Pertambahan umur ini dapat melemahkan kekuatan anggota tubuh, kemudian juga dapat melemahkan kekuatan jiwa yang sebelumnya selalu menopang diri dari beratnya cobaan hidup.

Ketujuh hal di atas merupakan faktor yang dapat melemahkan kinerja akhlak mulia secara umum. Adapun secara khusus, faktor yang dapat melemahkan akhlak mulia seseorang adalah kebencian yang menyebabkan manusia lari dari seseorang dan membencinya.

Keadaan tidak menyenangkan ini mendorongnya berkelakuan tidak terpuji yang kemudian menjadi karakter khusus bagi pribadinya.

Bila perilaku tercela timbul karena faktor-faktor tersebut, cara mengobatinya adalah dengan menghilangkan faktor yang ada itu kemudian dilakukan terapi untuk membiasakan diri berperilaku dengan akhlak mulia.
SAUDARAKU, JANGAN LAGI MENCELA WAKTU 
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=159896057487185&set=a.127942884015836.35252.118947841582007&type=1
Rabu, 8 dZulhijjah 1433 / 24 Oktober 2012


"Sial banget hari ini, kami selalu kalah jika bertanding pas hari Rabu?", ujar seseorang ketika kalah bertanding futsal.

"Bulan Suro, bulan penuh petaka!", kata seseorang yang sering menaruh sial pada bulan Suro ketika ia dapati berbagai musibah.

Bolehkah mencela waktu seperti itu?

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman :

”Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24)

Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Dalam Shahih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam.

Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam).

***
Mencela Waktu Terbagi Menjadi Tiga Macam

Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid berikut :

#Pertama
Jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, ”Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya.

Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’alaihis salam : ”Ini adalah hari yang amat sulit." (QS. Hud [11] : 77)

#Kedua
Jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar.

Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

#Ketiga
Jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik.

Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan.

Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung.

- Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas -

***
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang.

Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela.

Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini dari murka-Nya.

Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Senin, 22 Oktober 2012


Tafakur Umur

Selasa, 7 dZulhijjah 1433 / 23 Oktober 2012

Tafakur Umur



Oleh: Ina Salma Febriani  
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.” 

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir: 11).

Dalam ayat di atas, Allah SWT memberi penegasan bahwa hidup manusia di dunia adalah suatu proses panjang yang sudah tertulis dan diabadikan dalam lauh mahfudz. Dari proses penciptaan, lahirnya ke dunia, tumbuh dewasa hingga menunggu kapan panggilan-Nya menyapa.

Dalam tiap fase kehidupan itulah Allah menganugerahkan fasilitas gratis yaitu umur yang nilainya takkan sebanding dengan apa pun. Terlebih jika umur itu dikerahkan untuk melakukan hal-hal terbaik untuk Allah juga sesama guna menghadapi pertemuan dengan-Nya kelak.

Pertemuan dengan Allah diawali dengan berakhirnya jatah usia manusia di alam dunia. Sebagaimana kita tahu, kematian tidak dapat dipercepat apalagi ditangguhkan. Sejauh apa pun kaki melangkah, setinggi apapun benteng tempat persembunyian, seterpencil manapun kita hijrah ke suatu negeri, tetap ada fase kehidupan yang tidak bisa kita hindari; kematian. 

Kematian bak final dari setiap perlombaan yang kita ikuti selama di dunia—hanya saja, perlombaan untuk berbuat hasanah atau maksiat—itu diserahkan sepenuhnya kepada hamba itu sendiri. Sebab hidup ialah memilih. Jalan mana yang semestinya kita pilih, harus dipertimbangkan secara matang agar penyesalan tidak timbul di kemudian hari.

Sejatinya, setiap insan ‘tahu’ bahwa dirinya akan mati dan kembali kehadirat Ilahi Rabbi, namun amat disayangkan, bekal untuk menghadapi sesuatu yang amat besar itu sering diabaikan. Persiapan menghadapi kehidupan yang sebenarnya perlu disiapkan dengan berbagai amalan yang berbuah pahala dan ridha Allah, tanpa perlu menyampingkan kewajiban-kewajiban duniawi.

“Orang yang terbaik di antara kamu bukanlah orang yang meninggalkan dunianya untuk akhirat dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya. Sesungguhnya, dunia ini ialah bekal ke akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR Ibnu Asakir)

“Perbanyak mengingat kematian,” begitu Rasulullah SAW memberikan anjuran kepada umatnya. Sebab, dengan mengingat kematian, kikislah perasaan tamak terhadap harta, tahta, dan cinta yang berlebih kepada sesama. Kesadaran penuh akan makna kematian, jika sudah menusuk ke relung hati, juga akan menghadirkan perasaan cukup (qanaah) dan penyerahan diri secara total kepada Allah (tawakal).

Jika kita sepakat bahwa semua milik Allah (Inna Lillah) serta semua akan kembali kepada Allah (Ilaihi Raji’un), maka nampaknya sudah jelas tugas kita di dunia. Rezeki, kematian, jodoh, semua sudah dirancang sedemikian rapi oleh Allah, namun dengan tetap berikhtiar kepada-Nya. 

Kalau kita mau berpikir jernih, sebenarnya tidak ada takdir buruk untuk manusia, yang ada hanyalah manusia itu sendiri yang belum melihat sisi baik dari setiap cobaan dalam tahap-tahap kehidupan. Juga tidak ada takdir yang tidak sejalan antara apa yang ditetapkan Allah dengan apa yang kita inginkan. 

Jika umur adalah amanah Allah, maka Allah jualah yang akan mengambil titipannya—sesuai waktu yang masih menjadi rahasia-Nya. Tetapkan rasa syukur jika mendapatkan apa yang kita kehendaki, dibarengi dengan rasa sabar jika apa yang kita kehendaki, belumlah Dia wujudkan hingga saat ini. Dengan syukur dan sabar, maka hidup semakin berarti. Wallahu a’lam.

Penyebab Terhalangnya Hujan

Tuesday, 7 dZulhijjah 1433 / 23 October 2012
Penyebab Terhalangnya Hujan



Oleh: Imam Nur Suharno
Sekitar satu tahun tidak turun hujan, Bani Israil dilanda bencana yang teramat sangat. Tak hanya kekeringan, tapi juga berbagai penyakit menyerang. Mereka meminta kepada Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan.

Nabi Musa kemudian mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang dan mengajak mereka berdoa bersama. “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.” 

Namun, hujan tidak juga turun. Mereka berdoa kembali, “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.” Musa kemudian berkata, “Ya Allah, biasanya Engkau selalu mengabulkan permohonan kami, mengapa kali ini hujan tidak kunjung turun?”

Allah menjawab, “Musa, hujan tidak turun karena di antara kalian ada orang yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Karena keburukan maksiatnya, Aku mengharamkan hujan dari langit untuk kalian semua.”

Allah kemudian memerintahkan supaya orang itu dikeluarkan dari daerah tersebut. Musa pun berkata kepada kaumnya, “Saudara-saudaraku Bani Israil, aku bersumpah bahwa di antara kita ada orang yang bermaksiat kepada Allah selama 40 tahun. Akibat perbuatannya itu, Allah tidak menurunkan hujan untuk kita. Hujan tidak akan turun hingga orang itu pergi. Maka, usir orang itu dari sini.”

Orang yang ahli maksiat itu pun sadar. Kemudian, ia melihat sekelilingnya, berharap ada orang lain yang melangkah pergi. Namun, tak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Aku mohon Engkau menutupi aibku. Jika sekarang aku pergi, pasti dilecehkan dan dipermalukan. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Terimalah taubatku dan tutupi aibku ini.”

Belum sempat meninggalkan tempat, hujan pun turun. Nabi Musa terkejut atas hal ini. “Ya Allah, hujan telah turun padahal tak seorang pun dari kami yang pergi.”

Allah berfirman, “Musa, hujan turun karena Aku gembira, hamba-Ku yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun itu telah bertaubat.” 

Atas hal ini, Musa pun memohon kepada Allah agar menunjukkan orang yang dimaksud itu kepadanya, sehingga dia bisa menyampaikan kabar gembira tersebut. Allah menjawab, “Musa, ia bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun, dan semuanya Kurahasiakan. Mungkinkah setelah sekarang ia bertaubat, Aku akan mempermalukannya?”

Kisah tersebut di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita bahwa kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh segelintar orang dapat menghalangi terkabulnya doa, termasuk ditahannya hujan dari langit. Begitulah pengaruh buruk dari berbuat maksiat.

Pengaruh buruk itu, kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, antara lain, dapat menghalangi turunnya rezeki, menjauhkan pelakunya dengan orang baik, menyulitkan urusan, melemahkan hati, memperpendek umur, merusak akal, hilangnya rasa malu, berkurangnya nikmat, dan mendatangkan azab. 

Karena itu, agar hujan tidak terhalang, selain dengan shalat Istisqa, hendaknya dibarengi dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52). Wallahu a'lam.

Minggu, 21 Oktober 2012


Nama dan Nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa nama, yaitu:
  • Muhammad
  • Ahmad
  • Al Mahi
  • Al ‘Aqib
  • Al Hasyir
  • Al Muqaffi
  • Nabiyyur Rahmah
  • Nabiyyut Taubah
  • Khataman Nabiyyin
  • Abdullah
Dalilnya, Allah Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
Dan bahwasanya tatkala Abdullah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya” (QS. Maryam: 30)
Hadits Jabir bin Math’am,
إن لي أسماء : أنا محمد ، وأنا أحمد ، وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر ، وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي ، وأنا العاقب
Aku memiliki beberapa nama: MuhammadAhmadAl Mahi (penghapus) karena denganku Allah menghapus kekufuran, Al Hasyir karena manusia di kumpulkan di atas telapak kakiku, dan Al ‘Aqib” (HR. Bukhari 4896, Muslim 2354)
Juga hadits Abu Musa Al ‘Asy-ari,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسمي لنا أسماء . فقال ” أنا محمد ، وأحمد ، والمقفي ، والحاشر ، ونبي التوبة ، ونبي الرحمة “
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberitahu kepada kami nama-nama beliau. Beliau bersabda: ‘Aku MuhammadAhmadAl MuqaffiAl HasyirNabiyyur RahmahNabiyyut Taubah” (HR. Muslim 2355).
Adapun kun-yah beliau adalah Abul Qasim, karena salah satu anak beliau bernama Al Qasim. Ini ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya:
سَمُّوْا باسمي ولا تَكَنَّوْا بكنيتي ، فإني أنا أبو القاسمِ
Silakan memberi nama dengan namaku, namun jangan ber-kun-yah dengan kun-yah-ku. Kun-yah-ku adalah Abul Qasim” (HR. Bukhari 3114, Muslim 2133)
Ini adalah nama-nama beliau yang ditunjukkan secara sharih (lugas) oleh dalil-dalil. Namun banyak diantara para ulama juga menambahkan nama-nama lain untuk beliau, yang diambil dari setiap sifat yang dinisbatkan kepada beliau. Sebagaimana perkataan Imam Al Baihaqi : “Sebagian ulama menambahkan, mereka mengatakan bahwa Allah telah menyebut beliau dengan sebutan:
  • Rasul
  • Nabi
  • Ummiy
  • Syaahid
  • Mubasyir
  • Da’i ilallah bi idznihi
  • Sirajun Munir
  • Ra’ufur Rahim
  • Mudzakkir
  • Allah juga menjadikannya sebagai RahmahNi’mah, dan Haadi
Dan sebenarnya masih banyak lagi sifat-sifat beliau jika kita ingin memasukkannya ke dalam deretan nama beliau, diantaranya ash shadiqal mashduqsayyidu waladi adamsayyidul mursalinal aminal musthafa, dan banyak lagi. Oleh karena itu para ulama berselisih pendapat mengenai jumlah nama beliau.
Adapun pendapat sebagian ulama bahwa Yaasin dan Thaha adalah termasuk nama beliau, ini dilandasi oleh sebuah riwayat:
إِنَّ لِي عِنْدَ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَشْرَةَ أَسْمَاءٍ» قَالَ: أَبُو الطُّفَيْلِ: قَدْ حَفِظْتُ مِنْهَا ثَمَانِيَةً: مُحَمَّدٌ , وَأَحْمَدُ , وَأَبُو الْقَاسِمِ , وَالْفَاتِحُ , وَالْخَاتَمُ , وَالْمَاحِي , وَالْعَاقِبُ , وَالْحَاشِرُ قَالَ أَبُو يَحْيَى التَّيْمِيُّ: وَزَعَمَ سَيْفٌ أَنَّ أَبَا جَعْفَرٍ قَالَ لَهُ: إِنَّ الِاسْمَيْنِ الْبَاقِيَيْنِ: طَهْ , وَيَاسِينُ
Di sisi Rabb-ku Azza Wa Jall aku memiliki 10 nama (Abu Thufail -rawi hadits- mengatakan, aku hanya hafal 8) yaitu, Muhammad, Ahmad, Abul Qasim, Al Fatih, Al Khatam, Al Mahi, Al ‘Aqib, Al Hasyir.
Abu Yahya At Taimi berkata: Saif (bin Wahb) mengklaim bahwa Abu Ja’far berkata kepadanya: ‘Dua nama yang tersisa adalah Thaha dan Yasin’”
(Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al Ajurri dalam kitab Asy Syari’ah no.1015)
Sanad hadits ini lemah karena ada perawi bernama Saif bin Wahb dan Abu Yahya At Taimi (Isma’il bin Ibrahim) yang keduanya berstatus dhaif (Al Mizan 3645, At Tahdzib 518). Sehingga status hadits ini adalah lemah. Sebagaimana Ibnu ‘Adi mendhaifkan hadits ini dalam Al Kamil (4/509), Al ‘Iraqi mendhaifkan hadits ini dalam Takhrij Al Ihya (2/471). Dengan demikian kita tidak bisa mengatakan  bahwa Yaasin dan Thaha adalah termasuk nama beliau.
Adapun nasab, beliau adalah anak dari Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Sampai disini, tidak ada perbedaan diantara para ulama. Adnan dipastikan merupakan keturunan Nabi Isma’il, namun para ulama berselisih pendapat mengenai silsilah nasab dari Adnan hingga Nabi Isma’il.
Seluruh orang arab dari negeri Hijaz memiliki keterkaitan dengan nasab beliau tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ قَوْلِهِ: {إِلَّا المَوَدَّةَ فِي القُرْبَى} [الشورى: 23]- فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: عَجِلْتَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ، إِلَّا كَانَ لَهُ فِيهِمْ قَرَابَةٌ، فَقَالَ: «إِلَّا أَنْ تَصِلُوا مَا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنَ القَرَابَةِ»
“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma, ketika beliau ditanya mengenai ayat ‘kecuali kasih sayang dalam qurbaa (kekerabatan)‘. Sa’id bin Jubair menafsirkan qurbaa maknanya ‘keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam‘. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau terburu-buru dalam menafsirkan. Karena sesungguhnya antara tidak ada keturunan orang quraisy kecuali ia memiliki kekerabatan dengan beliau. Maknanya adalah: ‘kecuali adanya keterkaitan antara aku dan kalian dalam kekerabatan‘” (HR. Bukhari 4818)
Nasab beliau tersebut adalah nasab yang baik, dari awal hingga akhirnya, tidak ada sedikitpun terdapat kebejatan padanya. Sebagaimana diriwayatkan secara mursal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
خرجت من نكاح ، و لم أخرج من سفاح ، من لدن آدم إلى أن ولدني أبي و أمي ، لم يصبني من سفاح الجاهلية شيء
Aku lahir dari pernikahan dan tidaklah Aku dilahirkan dari perzinaan. Mulai dari Nabi Adam sampai pada ayah ibuku. Tidak ada kebejatan Jahiliyah sedikitpun dalam nasabku” (HR. Ath Thabrani 4728, dalam Shahih Sirah Nabawiyah(1/10) Al Albani mengatakan sanadnya mursal jayyid)
Oleh karena itulah kita katakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam lahir dari nasab terbaik. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بعثت من خير قرون ابن آدم ، قرنا فقرنا ، حتى كنت من القرن الذي كنت فيه
Aku diutus dari keturunan bani Adam yang terbaik pada setiap kurunnya, hingga sampai pada kurun dimana aku dilahirkan” (HR. Bukhari 3557)
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ
Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)

Demikian paparan yang sedikit ini, Semoga shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti sunnahnya hingga hari akhir.

Rujukan utama: Shahih Sirah Nabawiyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani