nurulilmi.com
Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia.
Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :
“Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ
“Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)
Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93). Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.
5. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah logika adalah kekacauan.
dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
Berapa banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.
Berapa banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca firmanNya:
Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)
Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:
Aku telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :
“Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.' (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan)." (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata :
“Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh as Sunnah : 38)
Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam
1. Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al Qur`an dan Hadits yang shohih.
Islam diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu, sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip ini adalah firman Alloh Swt :
48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu, (Qs. Al Maidah [5]:48)
Imam Asy Syafi`i rhm berkata :
" ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما سواهما تبع لهما "
“Satu pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti keduanya.” (Jima` al `Ilm: 11)
2. Ijma` Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.
Walaupun satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.
Alloh swt berfirman :
Barangsiapa yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa [4]:115)
Imam asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:
“Alloh menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman. Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul. Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)
Rosululloh saw bersabda :
“Alloh tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”. (Hr. Al Hakim dalam Mustadroknya: 1/115)
3. Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan, karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah bertingkat-tingkat.
Alloh swt berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa. (Qs. Al An`am [6] : 153)
4. Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.
Semua ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Alloh Swt berfirman :
apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumanNya. (Qs. Al Hasyr : 7)
Ibnu Hazm rhm berkata :
“Abu Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.
Ahmad Syakir rhm berkata :
“Kebenaran yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”. (al Bais al Hasis:39)
5. Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Wahyu Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang tepat dalam memahaminya.
Dan Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan. (QS. Al Kahfi [18]:56)
6. Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain keduanya.
Sesuatu yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.
Alloh Swt berfirman:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?" (Qs. Al An`am [6]:50)
Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Qs. Al An`am [6] : 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar