Al-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (2)
Kamis, 31 Mei 2012, 21:59 WIB
Wordpress.com
republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Fakta bahwa hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Hanya saja barangkali tidak kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulan itu sangat beralasan.
Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir pada 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab Al-Manhiyyat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(QS. Al-Hasyr: 7).
Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya, memiliki tingkatan yang berbeda.
Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).
Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri.
Misalnya saja larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101).
Sedangkan pengertian nahy tahrim ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks. Misalnya larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul.” (QS. Al-Maidah: 3).
Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa.
Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir pada 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab Al-Manhiyyat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(QS. Al-Hasyr: 7).
Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya, memiliki tingkatan yang berbeda.
Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).
Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri.
Misalnya saja larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101).
Sedangkan pengertian nahy tahrim ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks. Misalnya larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul.” (QS. Al-Maidah: 3).
Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar