AsySyariah.com
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mencintai sunnah Rasulullah n, baik dalam hal ilmu maupun amalan mereka, baik lahir maupun batin. Inilah ciri khas Ahlus Sunnah yang tidak dimiliki oleh golongan-golongan lainnya.
Mengapa demikian? Karena dengan mengikuti sunnah Rasulullah n, mereka akan mendapatkan sekian banyak keutamaan. Di antaranya adalah mahabbah (kecintaan), maghfirah (ampunan), dan berkah dari Allah l.
Allah l berfirman,
ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
Allah l juga berfirman,
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)
Demikian juga Rasulullah n meriwayatkan dari Allah k dalam hadits qudsi, Allah l berfirman,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata di dalam tafsirnya, “Kalau saja penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maksudnya hati mereka mengimani apa yang dibawa oleh para rasul r, kemudian membenarkan dan mengikutinya, serta mereka bertakwa dengan melakukan ketaatan-ketaatan dan menjauhi larangan-larangan, maka sungguh Kami (Allah l) akan bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi; yaitu dengan air hujan (yang beberkah) dari langit dan tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan tanaman dari bumi.
Tidak ada jalan untuk mendapatkan keutamaan tersebut selain dengan mengikuti sunnah Rasulullah n secara sempurna.
Rabb kita k memerintahkan,
ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
Dalam ayat yang lain, Rabb kita k juga memerintahkan,
ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
Demikian pula Allah l menjadikan Rasulullah n sebagai uswatun hasanah bagi hamba-hamba-Nya dalam berbagai macam perkara agama, baik akidah, ibadah, muamalah, adab, dan lainnya.
Hal ini sebagaimana firman-Nya,
ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿﰀ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Hal yang menguatkan lagi adalah larangan menyelisihi sunnah Rasul n, karena ini adalah sumber musibah di dunia dan akhirat.
Orang-orang yang mengharapkan keutamaan mahabbah, maghfirah, dan berkah akan memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menggapai keutamaan tersebut. Sampai pun dalam hal rutinitas kehidupan mereka, seperti makan dan minumnya.
Makan dan minum bagi mereka bukan sekadar kegiatan rutinitas dalam kehidupan mereka untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dunia semata. Akan tetapi bagi mereka, makan dan minum justru kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk mendapatkan keutamaan yang lebih dari itu, yaitu: mahabbah, maghfirah, dan berkah.
Mereka berusaha ketika makan dan minum disertai dengan adab mulia yang dituntunkan oleh Rasulullah n, sehingga mereka menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah l, Dzat yang senantiasa mengaruniakan rezeki kepada mereka.
Adapun adab-adab makan dan minum yang disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya adalah:
1. Bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada di hadapannya, karena tidak ada suatu kenikmatan melainkan datang dari Allah l
Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). (an-Nahl: 53)
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Rasulullah n bersabda,
أَتُحِبُّونَ أَنْ تَجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، قُولُوا: اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ وَذِكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Apakah kalian senang bersungguh-sungguh dalam doa-doa, ucapkanlah, ‘Ya Allah, tolonglah kami untuk senantiasa bersyukur kepada-Mu, menyebut-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu’.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah z, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam ash-Shahihul Musnad)
Kemudian Rasulullah n bersabda tentang qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada sehingga selamat dari penyakit rakus dan serakah terhadap dunia. Sungguh bahagia orang yang masuk Islam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan Allah l menjadikan dia merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya
Nabi n menuntun kita untuk melihat orang yang lebih rendah dan miskin daripada kita sehingga kita senantiasa terdorong untuk bersyukur kepada Allah l. Abu Hurairah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan kalian melihat orang yang berada di atas kalian. Dengan begitu, kalian lebih terdorong untuk tidak meremehkan nikmat-nikmat Allah l yang ada pada kalian.” (Muttafaqun ‘alaih, dan ini lafadz Muslim)
Mengapa demikian? Karena dengan mengikuti sunnah Rasulullah n, mereka akan mendapatkan sekian banyak keutamaan. Di antaranya adalah mahabbah (kecintaan), maghfirah (ampunan), dan berkah dari Allah l.
Allah l berfirman,
ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
Allah l juga berfirman,
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)
Demikian juga Rasulullah n meriwayatkan dari Allah k dalam hadits qudsi, Allah l berfirman,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata di dalam tafsirnya, “Kalau saja penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maksudnya hati mereka mengimani apa yang dibawa oleh para rasul r, kemudian membenarkan dan mengikutinya, serta mereka bertakwa dengan melakukan ketaatan-ketaatan dan menjauhi larangan-larangan, maka sungguh Kami (Allah l) akan bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi; yaitu dengan air hujan (yang beberkah) dari langit dan tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan tanaman dari bumi.
Tidak ada jalan untuk mendapatkan keutamaan tersebut selain dengan mengikuti sunnah Rasulullah n secara sempurna.
Rabb kita k memerintahkan,
ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
Dalam ayat yang lain, Rabb kita k juga memerintahkan,
ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
Demikian pula Allah l menjadikan Rasulullah n sebagai uswatun hasanah bagi hamba-hamba-Nya dalam berbagai macam perkara agama, baik akidah, ibadah, muamalah, adab, dan lainnya.
Hal ini sebagaimana firman-Nya,
ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿﰀ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Hal yang menguatkan lagi adalah larangan menyelisihi sunnah Rasul n, karena ini adalah sumber musibah di dunia dan akhirat.
Orang-orang yang mengharapkan keutamaan mahabbah, maghfirah, dan berkah akan memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menggapai keutamaan tersebut. Sampai pun dalam hal rutinitas kehidupan mereka, seperti makan dan minumnya.
Makan dan minum bagi mereka bukan sekadar kegiatan rutinitas dalam kehidupan mereka untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dunia semata. Akan tetapi bagi mereka, makan dan minum justru kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk mendapatkan keutamaan yang lebih dari itu, yaitu: mahabbah, maghfirah, dan berkah.
Mereka berusaha ketika makan dan minum disertai dengan adab mulia yang dituntunkan oleh Rasulullah n, sehingga mereka menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah l, Dzat yang senantiasa mengaruniakan rezeki kepada mereka.
Adapun adab-adab makan dan minum yang disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya adalah:
1. Bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada di hadapannya, karena tidak ada suatu kenikmatan melainkan datang dari Allah l
Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). (an-Nahl: 53)
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Rasulullah n bersabda,
أَتُحِبُّونَ أَنْ تَجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، قُولُوا: اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ وَذِكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Apakah kalian senang bersungguh-sungguh dalam doa-doa, ucapkanlah, ‘Ya Allah, tolonglah kami untuk senantiasa bersyukur kepada-Mu, menyebut-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu’.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah z, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam ash-Shahihul Musnad)
Kemudian Rasulullah n bersabda tentang qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada sehingga selamat dari penyakit rakus dan serakah terhadap dunia. Sungguh bahagia orang yang masuk Islam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan Allah l menjadikan dia merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya
Nabi n menuntun kita untuk melihat orang yang lebih rendah dan miskin daripada kita sehingga kita senantiasa terdorong untuk bersyukur kepada Allah l. Abu Hurairah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan kalian melihat orang yang berada di atas kalian. Dengan begitu, kalian lebih terdorong untuk tidak meremehkan nikmat-nikmat Allah l yang ada pada kalian.” (Muttafaqun ‘alaih, dan ini lafadz Muslim)
2. Tidak memakan dan meminum selain yang halal
Allah l berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Rasulullah n dalam hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim t menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang sedang dalam perjalanan safarnya sampai rambut dan bajunya kusut serta berdebu. Kemudian dia menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit (berdoa) dalam keadaan makanan (yang dimakan) haram, pakaian (yang dia pakai) haram, dan diberi makanan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan.
Dari ayat dan hadits di atas, Allah l dan Rasul-Nya memerintahkan untuk makan, minum, dan berpakaian dengan yang Allah l halalkan dan cara untuk mendapatkannya halal pula, karena suatu perkara yang haram akan menjadi pen yebab tidak diterimanya doa dan ibadah yang lainnya.
Demikian pula harta yang haram akan menyusahkan pemiliknya di hadapan Allah l tatkala dia dimintai pertanggungjawaban atas harta yang ada pada dirinya. Allah l berfirman,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (at-Takatsur:
Rasulullah n bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia akan ditanya tentang umurnya dalam perkara apa dia habiskan, ilmunya dalam perkara apa dia amalkan, hartanya dari mana dia dapatkan, ke mana dia infakkan, dan tentang badannya dalam perkara apa dia gunakan.” (HR. at-Tirmidzi)
Abu Abdillah an-Naji t berkata, “Ada lima perkara yang dengannya amalan itu sempurna: beriman dengan mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, mengikhlaskan amalan karena Allah l, beramal di atas sunnah, makan makanan halal. Apabila salah satu dari kelima perkara tadi tidak ada (hilang), maka amalan tersebut tidak akan diangkat (diterima). Penjelasannya, apabila engkau mengenali Allah l dalam keadaan tidak mengilmui kebenaran, engkau tidak mendapatkan manfaat; apabila engkau mengilmui kebenaran dalam keadaan tidak mengenali Allah l, engkau pun tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l dan mengilmui kebenaran tetapi tidak ikhlas, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, dan ikhlas dalam beramal, tetapi tidak dibangun di atas sunnah, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila keempat perkara tersebut telah sempurna, tetapi makanan (yang dimakan) tidak halal, engkau juga tidak akan mendapatkan manfaat.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/142)
Allah l berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Rasulullah n dalam hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim t menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang sedang dalam perjalanan safarnya sampai rambut dan bajunya kusut serta berdebu. Kemudian dia menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit (berdoa) dalam keadaan makanan (yang dimakan) haram, pakaian (yang dia pakai) haram, dan diberi makanan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan.
Dari ayat dan hadits di atas, Allah l dan Rasul-Nya memerintahkan untuk makan, minum, dan berpakaian dengan yang Allah l halalkan dan cara untuk mendapatkannya halal pula, karena suatu perkara yang haram akan menjadi pen yebab tidak diterimanya doa dan ibadah yang lainnya.
Demikian pula harta yang haram akan menyusahkan pemiliknya di hadapan Allah l tatkala dia dimintai pertanggungjawaban atas harta yang ada pada dirinya. Allah l berfirman,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (at-Takatsur:
Rasulullah n bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia akan ditanya tentang umurnya dalam perkara apa dia habiskan, ilmunya dalam perkara apa dia amalkan, hartanya dari mana dia dapatkan, ke mana dia infakkan, dan tentang badannya dalam perkara apa dia gunakan.” (HR. at-Tirmidzi)
Abu Abdillah an-Naji t berkata, “Ada lima perkara yang dengannya amalan itu sempurna: beriman dengan mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, mengikhlaskan amalan karena Allah l, beramal di atas sunnah, makan makanan halal. Apabila salah satu dari kelima perkara tadi tidak ada (hilang), maka amalan tersebut tidak akan diangkat (diterima). Penjelasannya, apabila engkau mengenali Allah l dalam keadaan tidak mengilmui kebenaran, engkau tidak mendapatkan manfaat; apabila engkau mengilmui kebenaran dalam keadaan tidak mengenali Allah l, engkau pun tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l dan mengilmui kebenaran tetapi tidak ikhlas, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, dan ikhlas dalam beramal, tetapi tidak dibangun di atas sunnah, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila keempat perkara tersebut telah sempurna, tetapi makanan (yang dimakan) tidak halal, engkau juga tidak akan mendapatkan manfaat.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/142)
3. Tidak menggunakan alat-alat makan dan minum yang terbuat dari emas ataupun perak
Hudzaifah ibnul Yaman zmengatakan bahwa Rasulullah n bersabda,
وَلَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
“Jangan kalian meminum minuman yang berada dalam bejana emas ataupun perak, dan jangan kalian memakan makanan yang ada pada piring-piring dari keduanya, karena bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat.” (Muttafaqun alaih)
Al-Imam ash-Shan’ani t berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya makan dan minum dengan menggunakan bejana dan piring dari emas dan perak, sama saja apakah terbuat dari emas murni atau dicampur dengan perak karena termasuk bejana dari emas atau perak. (Subulus Salam, 1/44)
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam t berkata, “Tidak ada bejana yang diharamkan (untuk digunakan) selain bejana yang diharamkan oleh Allah l dan Rasul n, yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak.” (Taudhihul Ahkam, 1/152)
Hudzaifah ibnul Yaman zmengatakan bahwa Rasulullah n bersabda,
وَلَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
“Jangan kalian meminum minuman yang berada dalam bejana emas ataupun perak, dan jangan kalian memakan makanan yang ada pada piring-piring dari keduanya, karena bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat.” (Muttafaqun alaih)
Al-Imam ash-Shan’ani t berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya makan dan minum dengan menggunakan bejana dan piring dari emas dan perak, sama saja apakah terbuat dari emas murni atau dicampur dengan perak karena termasuk bejana dari emas atau perak. (Subulus Salam, 1/44)
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam t berkata, “Tidak ada bejana yang diharamkan (untuk digunakan) selain bejana yang diharamkan oleh Allah l dan Rasul n, yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak.” (Taudhihul Ahkam, 1/152)
4. Tidak mencuci tangan atau berwudhu sebelum makan atau minum selain karena bersuci dari najis atau membersihkan kotoran
Dari Anas bin Malik z berkata, “Aku, Ubai bin Ka’ab, dan Abu Thalhah, duduk-duduk kemudian kami memakan daging dan roti. Setelah selesai, aku meminta air untuk berwudhu. Keduanya bertanya kepadaku, ‘Kenapa kamu berwudhu?’ Aku jawab, ‘Karena makanan yang sudah kita makan ini.’ Keduanya berkata. ‘Apakah kamu akan bewudhu karena makanan yang bagus ini? Orang yang lebih mulia darimu (Rasulullah n) tidak berwudhu karenanya’.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad)
Adapun hadits Salman z berkata, “Aku membaca di dalam kitab at-Taurat bahwa berkah makanan itu hilang dengan berwudhu sebelumnya. Kemudian aku ceritakan kepada Nabi n dan beliau bersabda,
بَرَكَةُ الطَّعَامِ الْوُضُوْءُ قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ
“Berkah makanan itu akan didapatkan dengan berwudhu sebelum dan sesudahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Hadits di atas adalah hadits yang dhaif, dinyatakan demikian oleh Abu Dawud sendiri dan al-Albani dalam Dhaif Sunnah Abi Dawud.
Dari Anas bin Malik z berkata, “Aku, Ubai bin Ka’ab, dan Abu Thalhah, duduk-duduk kemudian kami memakan daging dan roti. Setelah selesai, aku meminta air untuk berwudhu. Keduanya bertanya kepadaku, ‘Kenapa kamu berwudhu?’ Aku jawab, ‘Karena makanan yang sudah kita makan ini.’ Keduanya berkata. ‘Apakah kamu akan bewudhu karena makanan yang bagus ini? Orang yang lebih mulia darimu (Rasulullah n) tidak berwudhu karenanya’.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad)
Adapun hadits Salman z berkata, “Aku membaca di dalam kitab at-Taurat bahwa berkah makanan itu hilang dengan berwudhu sebelumnya. Kemudian aku ceritakan kepada Nabi n dan beliau bersabda,
بَرَكَةُ الطَّعَامِ الْوُضُوْءُ قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ
“Berkah makanan itu akan didapatkan dengan berwudhu sebelum dan sesudahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Hadits di atas adalah hadits yang dhaif, dinyatakan demikian oleh Abu Dawud sendiri dan al-Albani dalam Dhaif Sunnah Abi Dawud.
5. Membaca basmalah sebelum makan, menggunakan tangan kanan dan memulai dari yang dekat
Umar bin Abi Salamah z berkata, Rasulullah n bersabda,
سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, kemudian makanlah dari yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun alaih)
Di dalam hadits yang mulia ini terdapat tiga adab makan.
a. Membaca basmalah
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata, “Membaca basmalah sebelum makan hukumnya wajib. Apabila seseorang meninggalkannya dengan sengaja, dia berdosa dan setan akan ikut makan bersamanya. Tentu tidak ada seorang muslim yang rela setan—musuhnya—bersekutu dengannya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400)
Rasulullah n bersabda, “Apabila seseorang masuk rumahnya kemudian menyebut nama Allah tatkala masuk dan makan, maka setan akan berkata kepada teman-temannya, ‘Malam ini kalian tidak mendapat tempat bermalam dan makan.’ Namun, apabila dia masuk rumah kemudian tidak menyebut nama Allah l tatkala masuk, maka setan akan berkata, ‘Kalian akan mendapatkan tempat bermalam.’ Apabila dia tidak menyebut nama Allah l tatkala mau makan, maka setan akan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’.” (HR. Muslim)
Jika seorang hamba lupa membaca bismillah sebelum makan dan minum, kemudian dia ingat di tengah-tengah makan, Rasulullah n memerintahkan untuk membaca,
بِسْم ِاللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Dengan nama Allah di awal dan di akhirnya.” (HR. Abu Dawud & at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’)
b. Makan dengan tangan kanan
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Makan dengan tangan kanan hukumnya wajib. Barang siapa yang makan dengan tangan kirinya, berarti dia mendurhakai Rasul n. Barang siapa yang mendurhakai Rasulullah n, maka sungguh dia telah mendurhakai Allah l.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400)
Makan dan minum dengan tangan kiri menyerupai setan yang dilaknat dan orang-orang kafir yang tidak beradab.Rasulullah n bersabda,
لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ وَلاَ يَشْرَبَنَّ بِهَا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِهَا
“Janganlah salah seorang di antara kalian makan dan minum dengan tangan kirinya, karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar c)
c. Memulai dari yang terdekat
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Apabila kamu makan bersama-sama, makanlah yang ada di hadapanmu, jangan yang di hadapan orang lain, karena cara demikian ini adalah adab yang jelek. Para ulama berkata, ‘Lain halnya apabila makanan yang dihidangkan itu bermacam-macam, seperti ada labu, terung, daging, dan lainnya, tidak mengapa mengambil jenis yang lain sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah n.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/400—401)
Tidak boleh dari tengah-tengah nampan yang dipakai makan berjamaah, sebagaimana bimbingan Rasulullah n,
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ
“Berkah itu akan turun di bagian tengah makanan, makanlah dari arah pinggir-pinggirnya dan jangan makan dari tengahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas c)
Umar bin Abi Salamah z berkata, Rasulullah n bersabda,
سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, kemudian makanlah dari yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun alaih)
Di dalam hadits yang mulia ini terdapat tiga adab makan.
a. Membaca basmalah
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata, “Membaca basmalah sebelum makan hukumnya wajib. Apabila seseorang meninggalkannya dengan sengaja, dia berdosa dan setan akan ikut makan bersamanya. Tentu tidak ada seorang muslim yang rela setan—musuhnya—bersekutu dengannya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400)
Rasulullah n bersabda, “Apabila seseorang masuk rumahnya kemudian menyebut nama Allah tatkala masuk dan makan, maka setan akan berkata kepada teman-temannya, ‘Malam ini kalian tidak mendapat tempat bermalam dan makan.’ Namun, apabila dia masuk rumah kemudian tidak menyebut nama Allah l tatkala masuk, maka setan akan berkata, ‘Kalian akan mendapatkan tempat bermalam.’ Apabila dia tidak menyebut nama Allah l tatkala mau makan, maka setan akan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’.” (HR. Muslim)
Jika seorang hamba lupa membaca bismillah sebelum makan dan minum, kemudian dia ingat di tengah-tengah makan, Rasulullah n memerintahkan untuk membaca,
بِسْم ِاللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Dengan nama Allah di awal dan di akhirnya.” (HR. Abu Dawud & at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’)
b. Makan dengan tangan kanan
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Makan dengan tangan kanan hukumnya wajib. Barang siapa yang makan dengan tangan kirinya, berarti dia mendurhakai Rasul n. Barang siapa yang mendurhakai Rasulullah n, maka sungguh dia telah mendurhakai Allah l.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400)
Makan dan minum dengan tangan kiri menyerupai setan yang dilaknat dan orang-orang kafir yang tidak beradab.Rasulullah n bersabda,
لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ وَلاَ يَشْرَبَنَّ بِهَا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِهَا
“Janganlah salah seorang di antara kalian makan dan minum dengan tangan kirinya, karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar c)
c. Memulai dari yang terdekat
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Apabila kamu makan bersama-sama, makanlah yang ada di hadapanmu, jangan yang di hadapan orang lain, karena cara demikian ini adalah adab yang jelek. Para ulama berkata, ‘Lain halnya apabila makanan yang dihidangkan itu bermacam-macam, seperti ada labu, terung, daging, dan lainnya, tidak mengapa mengambil jenis yang lain sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah n.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/400—401)
Tidak boleh dari tengah-tengah nampan yang dipakai makan berjamaah, sebagaimana bimbingan Rasulullah n,
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ
“Berkah itu akan turun di bagian tengah makanan, makanlah dari arah pinggir-pinggirnya dan jangan makan dari tengahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas c)
6. Dengan duduk dan berjamaah
Dari Anas bin Malik z berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n جَالِسًا مُقْعِيًّا يَأْكُلُ تَمْرًا
“Aku melihat Rasulullah n dalam keadaan duduk bersimpuh dengan menegakkan dua telapak kaki sambil memakan kurma.”
Dari Abdullah bin Bisyr z, Nabi n memiliki sebuah nampan yang besar dan dinamai al-Gharra’ yang mampu dipikul oleh empat orang. Setelah mereka masuk waktu pagi dan shalat dhuha, didatangkan nampan tersebut. Setelah roti dipotong dan dimasukkan ke dalam kuah, para sahabat berkumpul mengelilinginya. Tatkala jumlah mereka banyak, Rasulullah n duduk bersimpuh di atas kedua telapak kakinya sehingga seorang Badui bertanya, “Duduk macam apa ini?” Beliau n menjawab, “Sesungguhnya Allah l menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang jahat dan sombong.” (HR. Abu Dawud dan asy-Syaikh Muqbil menyebutkannya di dalam ash-Shahihul Musnad)
Dengan duduk dan berjamaah, niscaya akan menambah berkah sebagaimana nasihat Rasulullah n tatkala mereka mengadukan kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak kunjung kenyang.” Rasulullah n bertanya, “Barangkali kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau n mengarahkan, “Berkumpullah kalian ketika makan, sebutlah nama Allah, niscaya kalian akan diberi berkah.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani di Shahih Sunan Abu Dawud)
Tatkala duduk juga tidak bersandar, karena Rasulullah n bersabda,
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا
“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. al-Bukhari dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan, “Maksudnya, tidak termasuk petunjukku (Rasulullah n) makan dalam keadaan bersandar, karena dua sebab. Pertama, sebab maknawi yaitu kesombongan. Kedua, sebab yang bersifat fisik, yaitu berkaitan dengan badan berupa bahaya yang ditimbulkan karena makan dengan bersandar. Sebab, jalan makanan akan miring (disebabkan bersandar) atau tidak lurus sebagaimana mestinya sehingga bisa jadi timbul hal-hal yang membahayakan pada usus atau lambung.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/414)
Dari Anas bin Malik z berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n جَالِسًا مُقْعِيًّا يَأْكُلُ تَمْرًا
“Aku melihat Rasulullah n dalam keadaan duduk bersimpuh dengan menegakkan dua telapak kaki sambil memakan kurma.”
Dari Abdullah bin Bisyr z, Nabi n memiliki sebuah nampan yang besar dan dinamai al-Gharra’ yang mampu dipikul oleh empat orang. Setelah mereka masuk waktu pagi dan shalat dhuha, didatangkan nampan tersebut. Setelah roti dipotong dan dimasukkan ke dalam kuah, para sahabat berkumpul mengelilinginya. Tatkala jumlah mereka banyak, Rasulullah n duduk bersimpuh di atas kedua telapak kakinya sehingga seorang Badui bertanya, “Duduk macam apa ini?” Beliau n menjawab, “Sesungguhnya Allah l menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang jahat dan sombong.” (HR. Abu Dawud dan asy-Syaikh Muqbil menyebutkannya di dalam ash-Shahihul Musnad)
Dengan duduk dan berjamaah, niscaya akan menambah berkah sebagaimana nasihat Rasulullah n tatkala mereka mengadukan kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak kunjung kenyang.” Rasulullah n bertanya, “Barangkali kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau n mengarahkan, “Berkumpullah kalian ketika makan, sebutlah nama Allah, niscaya kalian akan diberi berkah.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani di Shahih Sunan Abu Dawud)
Tatkala duduk juga tidak bersandar, karena Rasulullah n bersabda,
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا
“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. al-Bukhari dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan, “Maksudnya, tidak termasuk petunjukku (Rasulullah n) makan dalam keadaan bersandar, karena dua sebab. Pertama, sebab maknawi yaitu kesombongan. Kedua, sebab yang bersifat fisik, yaitu berkaitan dengan badan berupa bahaya yang ditimbulkan karena makan dengan bersandar. Sebab, jalan makanan akan miring (disebabkan bersandar) atau tidak lurus sebagaimana mestinya sehingga bisa jadi timbul hal-hal yang membahayakan pada usus atau lambung.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/414)
7. Tidak mencela makanan dan minuman, disunnahkan untuk memujinya
Dari Abu Hurairah z berkata,
مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Rasulullah n tidak pernah mencela makanan. Apabila ingin, beliau makan. Apabila tidak suka, beliau tinggalkan.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adab yang baik bagi setiap orang muslim apabila disuguhkan/dihidangkan kepadanya makanan, hendaknya dia menghargai nikmat Allah l tersebut, bersyukur kepada-Nya, dan tidak mencelanya. Apabila dia nafsu dan ingin makan, maka hendaknya dia makan dan kalau tidak suka, tidak usah dia makan, tidak boleh mencela dan mencacinya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405)
Dari Jabir z bahwa Nabi n bertanya kepada keluarganya tentang lauk makan. Mereka menjawab, “Kita tidak mempunyai lauk selain khall.” Beliau n memintanya kemudian makan sambil berkata, “Sebaik-baik lauk adalah khall, sebaik-baik lauk adalah khall.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Al-Khall adalah masakan yang terbuat dari air kuah yang dicampur dengan kurma sehingga manis rasanya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405)
Dari Abu Hurairah z berkata,
مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Rasulullah n tidak pernah mencela makanan. Apabila ingin, beliau makan. Apabila tidak suka, beliau tinggalkan.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adab yang baik bagi setiap orang muslim apabila disuguhkan/dihidangkan kepadanya makanan, hendaknya dia menghargai nikmat Allah l tersebut, bersyukur kepada-Nya, dan tidak mencelanya. Apabila dia nafsu dan ingin makan, maka hendaknya dia makan dan kalau tidak suka, tidak usah dia makan, tidak boleh mencela dan mencacinya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405)
Dari Jabir z bahwa Nabi n bertanya kepada keluarganya tentang lauk makan. Mereka menjawab, “Kita tidak mempunyai lauk selain khall.” Beliau n memintanya kemudian makan sambil berkata, “Sebaik-baik lauk adalah khall, sebaik-baik lauk adalah khall.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Al-Khall adalah masakan yang terbuat dari air kuah yang dicampur dengan kurma sehingga manis rasanya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405)
8. Apabila makan dengan tangan, makanlah dengan tiga jari, kemudian menjilati jari-jari itu dan membersihkan yang di piring dengan jari lalu menjilatnya
Ka’b bin Malik z berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا
“Aku melihat Rasulullah n sedang makan dengan tiga jari, setelah selesai beliau menjilatinya.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits Jabir z, Rasulullah n memerintahkan untuk menjilati jari-jari dan piring atau nampan (selesai makan) denga cara di atas. Beliau n bersabda, “Karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian mana yang beberkah.” (HR. Muslim)
Bahkan, Rasulullah n melarang mencuci atau mengusap jari-jari tersebut dengan tisu/air sebelum menjilatinya. Beliau n bersabda,
وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ
“Jangan membersihkan tangan dengan sapu tangan atau tisu sampai dia menjilatinya, karena dia tidak tahu di bagian mana makanannya yang beberkah.” (HR. Muslim dari Jabir z)
Ka’b bin Malik z berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا
“Aku melihat Rasulullah n sedang makan dengan tiga jari, setelah selesai beliau menjilatinya.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits Jabir z, Rasulullah n memerintahkan untuk menjilati jari-jari dan piring atau nampan (selesai makan) denga cara di atas. Beliau n bersabda, “Karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian mana yang beberkah.” (HR. Muslim)
Bahkan, Rasulullah n melarang mencuci atau mengusap jari-jari tersebut dengan tisu/air sebelum menjilatinya. Beliau n bersabda,
وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ
“Jangan membersihkan tangan dengan sapu tangan atau tisu sampai dia menjilatinya, karena dia tidak tahu di bagian mana makanannya yang beberkah.” (HR. Muslim dari Jabir z)
9. Tidak berlebih-lebihan dalam hal makan dan minum
Rasulullah n bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ أَكَلَاتٌ يَقُمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih buruk daripada lambungnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang akan menegakkan punggungnya. Apabila harus lebih dari itu, sepertiga lambung untuk makanannya , sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napas.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Karimah z)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila perutnya penuh dengan makanan, sesungguhnya hal itu akan membahayakan agama dan kesehatannya (agama karena menghalanginya dari ketaatan untuk beribadah; kesehatan karena akan menjadikannya sering mengantuk dan memengaruhi jiwanya sehingga malas untuk bekerja dan berpikir).”
Demikian pula para dokter mengatakan bahwa kekenyangan akan menimbulkan berbagai macam penyakit. (Tashlihul Ilmam, 6/224)
Setelah membaca hadits ini berkata dr. Ibnu Abi Masaweh, “Kalau saja orang-orang mengamalkan hadits ini, sungguh mereka akan selamat dari berbagai macam penyakit dan apotek-apotek akan bangkrut.” (Taudhihul Ahkam, 7/378)
Rasulullah n bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ أَكَلَاتٌ يَقُمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih buruk daripada lambungnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang akan menegakkan punggungnya. Apabila harus lebih dari itu, sepertiga lambung untuk makanannya , sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napas.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Karimah z)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila perutnya penuh dengan makanan, sesungguhnya hal itu akan membahayakan agama dan kesehatannya (agama karena menghalanginya dari ketaatan untuk beribadah; kesehatan karena akan menjadikannya sering mengantuk dan memengaruhi jiwanya sehingga malas untuk bekerja dan berpikir).”
Demikian pula para dokter mengatakan bahwa kekenyangan akan menimbulkan berbagai macam penyakit. (Tashlihul Ilmam, 6/224)
Setelah membaca hadits ini berkata dr. Ibnu Abi Masaweh, “Kalau saja orang-orang mengamalkan hadits ini, sungguh mereka akan selamat dari berbagai macam penyakit dan apotek-apotek akan bangkrut.” (Taudhihul Ahkam, 7/378)
10. Mengambil makanan yang jatuh dan membersihkannya kemudian dimakan
Dari Anas bin Malik z, Rasulullah n bersabda,
إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا وَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila sepotong makanan jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya dia ambil dan dia bersihkan dari kotoran lalu dia makan dan tidak membiarkannya untuk setan.”
Dengan kedua adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah n, seorang muslim jauh dari tabdzir (pemborosan) yang dibenci dan dimurkai oleh Allah l. Allah l berfirman,
“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra: 27)
Rasulullah n bersabda,
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“(Sesungguhnya Allah) membenci (perbuatan kalian) yang memberitakan berita yang tidak jelas kebenaran dan manfaatnya, banyak bertanya, serta membuang-buang harta.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mughirah bin Syu’bah z)
Dari Anas bin Malik z, Rasulullah n bersabda,
إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا وَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila sepotong makanan jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya dia ambil dan dia bersihkan dari kotoran lalu dia makan dan tidak membiarkannya untuk setan.”
Dengan kedua adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah n, seorang muslim jauh dari tabdzir (pemborosan) yang dibenci dan dimurkai oleh Allah l. Allah l berfirman,
“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra: 27)
Rasulullah n bersabda,
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“(Sesungguhnya Allah) membenci (perbuatan kalian) yang memberitakan berita yang tidak jelas kebenaran dan manfaatnya, banyak bertanya, serta membuang-buang harta.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mughirah bin Syu’bah z)
11. Tidak bernapas /meniup dalam bejana, cangkir, atau gelas tatkala minum
Nabi n melarang seseorang bernapas di dalam bejana ketika minum. (HR. Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Qatadah z)
Adapun hadits Anas bin Malik z,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا
“Rasulullah n biasa bernapas tiga kali ketika minum.” (Muttafaqun alaih)
Maksudnya, kata al-Imam Nawawi t, “Bernapas di luar bejana tatkala minum.” (Riyadhus Shalihin)
Di antara hikmahnya adalah bernapas di dalam bejana akan menimbulkan rasa jijik/tidak suka bagi orang yang akan minum setelahnya. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/819)
Nabi n melarang seseorang bernapas di dalam bejana ketika minum. (HR. Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Qatadah z)
Adapun hadits Anas bin Malik z,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا
“Rasulullah n biasa bernapas tiga kali ketika minum.” (Muttafaqun alaih)
Maksudnya, kata al-Imam Nawawi t, “Bernapas di luar bejana tatkala minum.” (Riyadhus Shalihin)
Di antara hikmahnya adalah bernapas di dalam bejana akan menimbulkan rasa jijik/tidak suka bagi orang yang akan minum setelahnya. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/819)
12. Jika minum bergantian, dahulukan yang sebelah kanan
Dari Anas bin Malik z,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ وَعَنْ يَسَارِهِ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ وَقَالَ: الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ
Rasulullah n diberi (hadiah) susu yang sudah dicampur dengan air dalam keadaan sebelah kanan beliau ada seorang Arab badui dan sebelah kiri beliau ada Abu Bakr z. Beliau n meminumnya kemudian memberikannya kepada si badui sambil berkata, “Sebelah kanan, kemudian sebelah kanannya.”
Jika ingin memberikan kepada orang yang berada di sebelah kirinya, mintalah izin terlebih dahulu kepada orang yang ada di sebelah kanannya, karena dia lebih berhak. Hal ini sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d z bahwa Rasulullah n diberi (hadiah) sebuah minuman, beliau n minum sebagian darinya dalam keadaan sebelah kanannya ada seorang anak laki-laki dan sebelah kirinya ada orang yang sudah tua. Beliau n berkata kepada anak laki-laki itu, “Apakah kamu memperbolehkanku memberikan ini kepada mereka?” Anak itu menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun.” Beliau n pun meletakkan bejana itu di tangan anak tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas bin Malik z,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ وَعَنْ يَسَارِهِ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ وَقَالَ: الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ
Rasulullah n diberi (hadiah) susu yang sudah dicampur dengan air dalam keadaan sebelah kanan beliau ada seorang Arab badui dan sebelah kiri beliau ada Abu Bakr z. Beliau n meminumnya kemudian memberikannya kepada si badui sambil berkata, “Sebelah kanan, kemudian sebelah kanannya.”
Jika ingin memberikan kepada orang yang berada di sebelah kirinya, mintalah izin terlebih dahulu kepada orang yang ada di sebelah kanannya, karena dia lebih berhak. Hal ini sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d z bahwa Rasulullah n diberi (hadiah) sebuah minuman, beliau n minum sebagian darinya dalam keadaan sebelah kanannya ada seorang anak laki-laki dan sebelah kirinya ada orang yang sudah tua. Beliau n berkata kepada anak laki-laki itu, “Apakah kamu memperbolehkanku memberikan ini kepada mereka?” Anak itu menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun.” Beliau n pun meletakkan bejana itu di tangan anak tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)
13. Apabila makanan telah dihidangkan dan waktu shalat telah tiba, dahulukan makan kemudian shalat
Aisyah x berkata, Rasulullah n bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan dan rasa buang air besar serta buang air kecil telah mendorongnya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits Aisyah x, Rasulullah n bersabda, “Apabila telah ditegakkan shalat (maghrib) padahal makan malam telah dihidangkan, maka dahulukan makan malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Aisyah x berkata, Rasulullah n bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan dan rasa buang air besar serta buang air kecil telah mendorongnya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits Aisyah x, Rasulullah n bersabda, “Apabila telah ditegakkan shalat (maghrib) padahal makan malam telah dihidangkan, maka dahulukan makan malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
14. Berdoa setelah makan
Mu’adz bin Anas meriwayatkan dari ayahnya (yakni Anas z), Rasulullah n bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang selesai makan kemudian berdoa, ‘Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan makanan ini kepadaku dan memberi rezeki kepadaku pula tanpa daya dan upaya dari diriku’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Apabila diundang makan, padahal dia berpuasa dan tidak ingin membatalkan puasa sunnahnya, hendaknya dia mendoakan kebaikan bagi si pengundang sebagaimana sabda Rasulullah n,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang (makan), maka hendaknya memenuhi undangannya. Apabila dia berpuasa, hendaknya dia mendoakan kebaikan (untuk pengundang). Apabila tidak, hendaknya dia makan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Hadits Anas bin Malik z menyebutkan bahwa Rasulullah n mendatangi Sa’d bin Ubadah. Sa’d kemudian membawa roti dan minyak. Rasulullah n bersabda,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ
“Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di samping kalian, orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan mudah-mudahan para malaikat bershalawat (mendoakan) kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Sebagai wujud rasa syukur kita karena Allah l berterima kasihlah kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita sebagaimana Rasulullah n bersabda,
Mu’adz bin Anas meriwayatkan dari ayahnya (yakni Anas z), Rasulullah n bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang selesai makan kemudian berdoa, ‘Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan makanan ini kepadaku dan memberi rezeki kepadaku pula tanpa daya dan upaya dari diriku’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Apabila diundang makan, padahal dia berpuasa dan tidak ingin membatalkan puasa sunnahnya, hendaknya dia mendoakan kebaikan bagi si pengundang sebagaimana sabda Rasulullah n,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang (makan), maka hendaknya memenuhi undangannya. Apabila dia berpuasa, hendaknya dia mendoakan kebaikan (untuk pengundang). Apabila tidak, hendaknya dia makan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Hadits Anas bin Malik z menyebutkan bahwa Rasulullah n mendatangi Sa’d bin Ubadah. Sa’d kemudian membawa roti dan minyak. Rasulullah n bersabda,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ
“Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di samping kalian, orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan mudah-mudahan para malaikat bershalawat (mendoakan) kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Sebagai wujud rasa syukur kita karena Allah l berterima kasihlah kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita sebagaimana Rasulullah n bersabda,
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah z. Dalam ash-Shahihul Musnad, asy-Syaikh Muqbil t berkata, “[Ini] hadits yang sahih menurut syarat Muslim.”)
Mudah-mudahan Allah l senantiasa mengaruniakan hidayah dan taufik kepada kita semuanya untuk mencintai sunnah Rasulullah n dalam ilmu dan amal, baik lahir maupun batin; sehingga kita tergolong hamba-hamba-Nya yang berhasil mendapatkan keutamaan-keutamaan yang dijanjikanNYA, amin.
“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah z. Dalam ash-Shahihul Musnad, asy-Syaikh Muqbil t berkata, “[Ini] hadits yang sahih menurut syarat Muslim.”)
Mudah-mudahan Allah l senantiasa mengaruniakan hidayah dan taufik kepada kita semuanya untuk mencintai sunnah Rasulullah n dalam ilmu dan amal, baik lahir maupun batin; sehingga kita tergolong hamba-hamba-Nya yang berhasil mendapatkan keutamaan-keutamaan yang dijanjikanNYA, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar