Imam Bukhari: Berguru pada 1.080 Ahli Hadits Selama 16 Tahun (Bagian Kedua)
Sejuta Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun buat mengunjungi berbagai kota. ia menemui para perawi hadits, lalu mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Dari Basrah ia menuju Masir, Hujaz (Mekah dan Madinah), Kufah, Bagdad – pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam kala itu – Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab Hambali. Di sejumlah kota itu ia telah bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah ia mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Tapi tidak seluruh hadits yang ia hafal lantas ia riwayatkan, melainkan terlebih dahulu ia seleksi. Cara meyeleksinya pun sangat ketat. Diantaranya, apakah sanad atau riwayatnya bersambung, dan apakah perawinya Tsiqah (kuat). Saking disiplin dan selektifnya, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan 9.082 hadits dalam karya Monumentalnya “Al-Jami’ al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai “Shahih Bukhari”. Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak ahli hadits berguru padanya., seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad ibnu Nasr, dan Imam Muslim.
Imam Bukhari telah menulis lebih dari 53 kitab, diantaranya: Al-Jami’ Al-Shahih, yang lebih dikenal sebagai Shahih Bukhari, Al-Adabul Al-Mufrad, Al-Tarikh as-Saghir, Al-Tarikh Al-Awsat, Al-Tarikh Al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Kitab Al-Ilal, Raful Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Al-Asyribah, Al-Qira’ah Khalf al-Imam, kitab Ad-Du’afa, Asami as-Sahabah, dan Al-Hibah.
Dalam meneliti dan mengumpulkan hadits, ia sangat tekun dan tak kenal lelah. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun lalu menyalakan lampu, dan menulis setiap hadits dan masalah-masalah yang terlintas di pikirannya. Setelah itu lampu ia padamkan kembali. Setiap malam ia lakukan hal itu, hampir dua puluh kali. Dalam syarah atau keterangan kitab Shahih Bukhari, Imam Al-Asqalani menulis, para guru Imam Bukhari dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu Tabi’in (ulama terdahulu), Tabi’it Tabi’in (generasi setelah Tabi’in), dan para Mahasiswa yang belajar bersamanya.
Ia telah berguru kepada 1.080 ahli hadits selama 16 tahun. Mereka itu antara lain: Ali ibnu Al-Madini, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya ibnu Ma’in, Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, Maki ibnu Ibrahim Al-Bakhi, Muhammad ibnu Yusuf Al-Baykandi, dan Ibnu Ruhawaih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahihnya.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits, dan tentu saja dalam berdiskusi dengan para perawi, Imam Bukhari sangat sopan, kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi, juga cukup halus. Kepada perawi yang sudah jelas kebohongannya, ia hanya berkata, “Hadits ini perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya, atau para ulama berdiam diri mengenai hal itu.” Sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan “Haditsnya diingkari.”
Penelitian Serius
Meskipun cukup sopan berhadapan dengan para perawi yang ditenuinya, ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang diragukan kejujurannya. “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan oleh perawi yang dalam pendanganku perlu dipertimbangkan.”
Begitu banyak ulama atau perawi yang ditemui, sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka. Ia memang sangat teliti dan akurat. Untuk mendapatkan catatan yang lengkap mengenai sebuah hadits, Bukhari melawat ke Mesir, Suriah, Aljazair, sampai dua kali. Bahkan untuk mengecek kekurangan sebuah hadits saja ia bisa berkali-kali datang menemui para ulama atau perawi, seperti yang ia lakukan ke Bagdad dan Kufah.
Mengenai kunjungan-kunjungannya kepada sejumlah ulama dan perawi di beberapa kota itu, Imam Bukhari berkata, “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah Arab, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Dalam penelitian yang cukup lama dan melelahkan itu – tapi dengan tingkat disiplin keilmuan yang sangat ketat – Imam Bukhari berhasil mengumpulkan 600.000 hadits, lebih kurang separuh diantaranya ia hafal. Diantara ribuan hadits tersebut, 100.000 hadits diantaranya sahih, 200.000 lainnya tidak sahih. Disela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai Fuqaha atau ahli fikih, bahkan ia tidak melupakan kegiatan sampingan yang lebih rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Ada yang mengatakan, sepanjang hidupnya Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali hanya dua kali.
Bisa dimaklumi jika namanya menjulang sebagai ulama ahli hadits yang termasyhur. Kaum muslimin mengagumi dan menghormatinya, kemanapun ia berkunjung selalu mendapat sambutan hangat. Ketika berkunjung ke Naisabur pada tahun 250 H, ia disambut meriah oleh warga kota, juga oleh para ulama dan seorang gurunya, Muhammad bin Yahya As-Zihli. Dalam kitab Sahih Muslim, Imam Muslim bin Al-Hajjaj, menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak pernah melihat kepala daerah, dan para ulama serta warga kota memberi sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan padanya.”
Mereka sudah menyambut kedatangan Imam Bukhari sejak di luar kota sejauh dua atau tiga Marhalah (lebih kurang 100 kilometer), sampai-sampai Az-Zihli, salah seorang guru Imam Bukhari berkata, “Barangsiapa hendak menyambut kedatangan Imam Bukhari besok pagi, lakukanlah, sebab saya sendiri juga akan ikut menyambutnya.”
Keesokan harinya, Az-Zihli, bersama para Ulama dan warga kota Naisabur, menyongsong kedatangan Imam Bukhari – yang kemudian menetap di perkampungan orang-orang Bukhara untuk mengajar ilmu hadits. Az-Zihli sendiri menganjurkan kepada warga kota Naisabur untuk mengikuti pengajian muridnya yang pandai itu. “Pergilah kalian kepada orang alim yang salih itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya,” ujarnya.
Mungkin karena sangat terkenal, ada saja warga Naisabur yang kurang berkenan. Sementara sibuk mengajar, Imam Bukhari di fitnah seolah-olah telah mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Begitu marak fitnah itu, sehingga @z-Zihli,gurunya, terpengaruh. “Barang siapa berpendapat bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah ahli bid’ah, ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh dihadiri. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia.” Karuan saja, setelah Az-Zihli menyatakan fatwanya, pengajiannya pun mulai sepi.
Menunggang Himar
Fitnah itu bermula dari pertanyaan seorang jemaah, “Bagaimana pendapat anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur’an, makhluk atau bukan?” Bukhari berpaling dari si penanya, tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Karena si penanya terus mendesaknya, ia lalu menjawab, “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk, dan fitnah merupakan bid’ah.” Yang ia maksud dengan perbuatan manusia ialah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat ini membedakan antara yang dibaca dan bacaan – adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli Tahqiq (tempat rujukan) dan ulama salaf.
Dalam versi lain, Imam Bukhari berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan, yang bisa bertembah dan berkurang. Al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah yang paling utama adalah Abubakar, Umar, Usman dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah saya hidup, mati dan dibangkitkan di akherat kelak, Insya’allah.” Ia juga pernah berkata, “Barang siapa menuduhku telah berpendapat bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Tapi, Az-Zihli benar-benar telah murka. Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini,” katanya. Setelah mendengar fatwa gurunya itu, ia pun bersiap-siap meninggalkan Naisabur, karena baginya keluar dari kota itu lebih baik, untuk meredakan fitnah. Maka ia pun pulang kampung ke Bukhara.
Begitu ia menginjakkan kaki ke kampung halamannya, seluruh penduduk menyambutnya dengan upacara sangat meriah. Mereka mendirikan beberapa kemah sepanjang satu Farsakh (lebih kurang delapan kilometer), dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar. Imam Bukhari menetap dan mengajar ilmu hadits di kota kelahirannya itu selama beberapa tahun. Tapi belakangan, badai fitnah melanda lagi, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli.
Suatu hari Khalid mengirim utusan kepada Imam Bukhari, minta dua buah kitab karangannya, Al-Jami’ al-Shahih dan At-Tarikh al-Kubra, tapi Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan tersebut, sambil berpesan kepada sang utusan, “Saya tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke Istana. Jika hal itu tidak berkenan di hati tuan, keluarkanlah larangan supaya saya tidak menggelar majlis pengajian. Dengan begitu saya mempunyai alasan di sisi Allah kelak di hari kiamat bahwa sebenarnya saya tidak menyembunyikan ilmu.”
Mendengar jawaban seperti itu, Khalid naik pitam, ia lalu memerintahkan orang-orangnya menghasut Imam Bukhari, agar ada alasan untuk mengusirnya. Singkat cerita, Imam Bukhari pun di usir dari kampung halamannya sendiri. Ia lalu berdoa dan menyerahkan persoalan ini kepada Allah. Belum sebulan berlalu, Sultan Uzbekistan, Ibnu Tahir, memerintahkan agar Khalid dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menunggang Himar (keledai) betina, dan mengakiri hidupnya dipenjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar