Hikmah Ilmiah dalam Syariat Puasa (I)
REPUBLIKA.CO.ID, Tujuan diwajibkannya puasa dan semua hukum-hukum ketuhanan adalah untuk menciptakan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia, baik spiritual dan material, atau edukatif dan behavioristik. Semua itu adalah satu kesatuan integral dan biasanya satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.
Fakhr Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya, "Ibadah ini telah menjadi kewajiban para nabi dan umat mulai dari Adam sampai masa kalian. Satu kali pun Allah belum pernah melewatkan kewajiban puasa dari sebuah umat. Jadi, Allah tidak hanya mewajibkan puasa kepada kalian saja."
Rasyid Ridha menambahkan dalam tafsirnya, Al-Manar, "Puasa telah diwajibkan bagi semua pemeluk agama pada masa dahulu. Bahkan puasa menjadi salah satu tiang setiap agama karena termasuk ibadah yang terberat dan cara purifikasi (penyucian) diri yang paling agung."
Dalam Zad Al-Masir, Ibnu al-Jauzi melansir tiga komentar para shabahat dalam menginterpretasikan ayat, "orang-orang sebelum kamu", yaitu sebagai ahlul kitab, orang Nasrani saja, atau semua penganut agama-agama (millah).
Hakikat puasa yang diwajibkan kepada semua umat sebenarnya sama, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh dalam jangka waktu tertentu. Batas minimalnya adalah dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Rasyid Ridha mengemukakan dalam Al-Manar, bahwa puasa umat-umat terdahulu adalah sehari semalam dan selama itu mereka hanya diperbolehkan makan sekali saja. Dalam hal ini Nabi SAW juga telah memberikan penjelasan, Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah adanya makan sahur (dalam puasa kita).
Namun ketentuan ini diperingan bagi umat Muhammad SAW , dan dinasakh dengan ayat, "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu" (Qs. Al-Baqarah (2):187). Inilah yang membedakan antara puasa ahlul kitab dengan puasa kaum muslimin.
Selanjutnya, firman Allah SWT (agar kamu bertakwa) memiliki tiga makna yang signifikan. Makna pertama berkisar pada seputar pencapaian sifat takwa yang melindungi manusia dari keterjerumusan ke dalam hal-hal yang dibenci Allah SWT.
Sedangkan makna kedua adalah ketekunan menjalankan puasa demi memperoleh ridha Allah SWT bisa menjadi self-protection dari segala maksiat yang membuat murka Allah SWT. Makna ketiga adalah, bahwa puasa melahirkan upaya preventif dari berbagai panyakit yang bisa menimpa jiwa maupun raganya.
Fakhr Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya, "Ibadah ini telah menjadi kewajiban para nabi dan umat mulai dari Adam sampai masa kalian. Satu kali pun Allah belum pernah melewatkan kewajiban puasa dari sebuah umat. Jadi, Allah tidak hanya mewajibkan puasa kepada kalian saja."
Rasyid Ridha menambahkan dalam tafsirnya, Al-Manar, "Puasa telah diwajibkan bagi semua pemeluk agama pada masa dahulu. Bahkan puasa menjadi salah satu tiang setiap agama karena termasuk ibadah yang terberat dan cara purifikasi (penyucian) diri yang paling agung."
Dalam Zad Al-Masir, Ibnu al-Jauzi melansir tiga komentar para shabahat dalam menginterpretasikan ayat, "orang-orang sebelum kamu", yaitu sebagai ahlul kitab, orang Nasrani saja, atau semua penganut agama-agama (millah).
Hakikat puasa yang diwajibkan kepada semua umat sebenarnya sama, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh dalam jangka waktu tertentu. Batas minimalnya adalah dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Rasyid Ridha mengemukakan dalam Al-Manar, bahwa puasa umat-umat terdahulu adalah sehari semalam dan selama itu mereka hanya diperbolehkan makan sekali saja. Dalam hal ini Nabi SAW juga telah memberikan penjelasan, Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah adanya makan sahur (dalam puasa kita).
Namun ketentuan ini diperingan bagi umat Muhammad SAW , dan dinasakh dengan ayat, "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu" (Qs. Al-Baqarah (2):187). Inilah yang membedakan antara puasa ahlul kitab dengan puasa kaum muslimin.
Selanjutnya, firman Allah SWT (agar kamu bertakwa) memiliki tiga makna yang signifikan. Makna pertama berkisar pada seputar pencapaian sifat takwa yang melindungi manusia dari keterjerumusan ke dalam hal-hal yang dibenci Allah SWT.
Sedangkan makna kedua adalah ketekunan menjalankan puasa demi memperoleh ridha Allah SWT bisa menjadi self-protection dari segala maksiat yang membuat murka Allah SWT. Makna ketiga adalah, bahwa puasa melahirkan upaya preventif dari berbagai panyakit yang bisa menimpa jiwa maupun raganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar