Seperti Inilah Pesona Akhlak Rasulullah SAW
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi
Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan di Kota Makkah. Beliau melihat seorang wanita tua menunggu seseorang yang bisa dimintai tolong membawakan barangnya.
Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan di Kota Makkah. Beliau melihat seorang wanita tua menunggu seseorang yang bisa dimintai tolong membawakan barangnya.
Benar saja, begitu Rasulullah lewat di depannya, ia memanggil, “Ya ahlal Arab! Tolong bawakan barang ini, nanti akan kubayar.”
Rasulullah SAW sengaja lewat di hadapan nenek itu karena bermaksud hendak menolongnya. Maka, ketika Rasulullah menghampirinya, beliau segera mengangkat barang-barang itu seraya berkata, “Aku akan mengangkatkan barangmu tanpa bayaran.”
Nenek tua itu amat senang mendengar perkataan tersebut karena selama ini amat jarang orang membantunya tanpa pamrih. Biasanya, walaupun tidak meminta, tetapi jika dia memberi bayaran, orang dengan senang hati akan menerimanya. Dia pandangi wajah Muhammad yang bersih dan teduh. Dia yakin anak muda yang menolongnya kini adalah seorang pemuda yang berbudi luhur.
Di tengah perjalanan wanita itu menasihati Rasul. “Kabarnya di Kota Makkah ini ada seorang yang mengaku nabi, namanya Muhammad. Hati-hatilah engkau dengan orang itu. Jangan sampai engkau teperdaya dan memercayainya.”
Nenek tua itu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang menolongnya dan kini bersamanya adalah Muhammad, sang nabi.
Maka, Rasul SAW berkata kepadanya, “Aku ini Muhammad...”
Nenek tua itu terperangah mengetahui pemuda yang menolongnya ada lah Muhammad yang diceritakannya. Maka, pada saat itu juga nenek itu langsung meminta maaf dan bersyahadat. Ia pun kemudian memuji akhlak Rasul. “Sungguh engkau memiliki akhlak yang luhur.”
Narasi ini hanya buih kecil dari samudra nan luas dari pesona akhlak yang dimiliki sang junjungan Nabi SAW. Sifat luhur ini pulalah yang mulai ter gerus oleh gelegak zaman yang terusmenerus mengobarkan sifat egoistis dan individualistis.
Di zaman modern ini, banyak orang yang tampak sangat pelit untuk menolong sesama. Kalau pun mau, itu dilakukan karena pamrih (ingin balasan). Padahal, manis dan indahnya kehidupan justru ketika satu sama lain saling memberi dan mau berkorban, lalu mengisinya dengan cinta.
Semangat berkorban dan memberi itu merupakan ruh dari etika Islam. Misalnya kita belum disebut silaturahim kalau hanya membalas kunjungan seseorang, atau memberi sesuatu kepada orang yang pernah memberi kita.
“Penyambung tali kerabat (silaturahim) itu bukan orang yang membalas (hubungan) serupa, melainkan penyambung tali kerabat adalah orang yang jika sanak keluarganya memutuskan hubung n dengannya, ia justru menyambungkannya.” (HR Bukhari).
Rasul SAW sudah mengajarkan prinsip hidup teramat agung. Contohnya, segala kesukaran harus dihadapi dengan lapang dada, dan setiap kejahatan dibalas dengan kebaikan.
“Sungguh aku butuh naungan seorang teman yang tetap jernih dan be ning bila aku mengeruhkannya,” pekik Abul Atahiyah, sufi penyair terkenal di era Khalifah Harun ar-Rasyid (w. 211 H/ 828 M).
Ketika syair itu dikumandangkan oleh Mukhariq di hadapan al-Makmun, sang khalifah pun menyahut, “Wahai Mukhariq, ambil kekhalifahanku dan berikan teman ini kepadaku.”
Rasulullah SAW sengaja lewat di hadapan nenek itu karena bermaksud hendak menolongnya. Maka, ketika Rasulullah menghampirinya, beliau segera mengangkat barang-barang itu seraya berkata, “Aku akan mengangkatkan barangmu tanpa bayaran.”
Nenek tua itu amat senang mendengar perkataan tersebut karena selama ini amat jarang orang membantunya tanpa pamrih. Biasanya, walaupun tidak meminta, tetapi jika dia memberi bayaran, orang dengan senang hati akan menerimanya. Dia pandangi wajah Muhammad yang bersih dan teduh. Dia yakin anak muda yang menolongnya kini adalah seorang pemuda yang berbudi luhur.
Di tengah perjalanan wanita itu menasihati Rasul. “Kabarnya di Kota Makkah ini ada seorang yang mengaku nabi, namanya Muhammad. Hati-hatilah engkau dengan orang itu. Jangan sampai engkau teperdaya dan memercayainya.”
Nenek tua itu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang menolongnya dan kini bersamanya adalah Muhammad, sang nabi.
Maka, Rasul SAW berkata kepadanya, “Aku ini Muhammad...”
Nenek tua itu terperangah mengetahui pemuda yang menolongnya ada lah Muhammad yang diceritakannya. Maka, pada saat itu juga nenek itu langsung meminta maaf dan bersyahadat. Ia pun kemudian memuji akhlak Rasul. “Sungguh engkau memiliki akhlak yang luhur.”
Narasi ini hanya buih kecil dari samudra nan luas dari pesona akhlak yang dimiliki sang junjungan Nabi SAW. Sifat luhur ini pulalah yang mulai ter gerus oleh gelegak zaman yang terusmenerus mengobarkan sifat egoistis dan individualistis.
Di zaman modern ini, banyak orang yang tampak sangat pelit untuk menolong sesama. Kalau pun mau, itu dilakukan karena pamrih (ingin balasan). Padahal, manis dan indahnya kehidupan justru ketika satu sama lain saling memberi dan mau berkorban, lalu mengisinya dengan cinta.
Semangat berkorban dan memberi itu merupakan ruh dari etika Islam. Misalnya kita belum disebut silaturahim kalau hanya membalas kunjungan seseorang, atau memberi sesuatu kepada orang yang pernah memberi kita.
“Penyambung tali kerabat (silaturahim) itu bukan orang yang membalas (hubungan) serupa, melainkan penyambung tali kerabat adalah orang yang jika sanak keluarganya memutuskan hubung n dengannya, ia justru menyambungkannya.” (HR Bukhari).
Rasul SAW sudah mengajarkan prinsip hidup teramat agung. Contohnya, segala kesukaran harus dihadapi dengan lapang dada, dan setiap kejahatan dibalas dengan kebaikan.
“Sungguh aku butuh naungan seorang teman yang tetap jernih dan be ning bila aku mengeruhkannya,” pekik Abul Atahiyah, sufi penyair terkenal di era Khalifah Harun ar-Rasyid (w. 211 H/ 828 M).
Ketika syair itu dikumandangkan oleh Mukhariq di hadapan al-Makmun, sang khalifah pun menyahut, “Wahai Mukhariq, ambil kekhalifahanku dan berikan teman ini kepadaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar