sa'at shalat

Selasa, 02 Oktober 2012


Di Balik Keharuman Nama Besar Umar bin Khattab



dakwatuna.com - Separuh hidup lelaki tua itu dalam kekelaman jahiliyah. Tumbuh dalam kehidupan yang keras. Dhajanan adalah kenangan. Adalah sejarah masa kecil. Adalah bukit yang abadi dalam ingatannya. Sebab di sana ia menggembala unta. Di sana ia mendapat pendidikan keras. Dan di sana kepribadian itu terbentuk. Tidak seperti anak-anak yang lain, masa mudanya dihabiskan dengan hura-hura dan bergelimang harta. Ia kesepian, sendiri di bukit itu. Tapi Al-Khathab tidak peduli padanya.
“Sungguh, aku telah coba melupakan kenangan itu, tapi hati kecilku berkata padaku.”
Ia memang tidak menyukai takdir itu. Tapi ia belajar berdamai dengan dirinya bahwa itulah yang terbaik untuknya. Ia juga tahu diri. Karena itu ia belajar banyak hal; baca tulis, bergulat, menunggang kuda, mencipta dan mendendang syair. Kemudian ia menaruh perhatian terhadap masalah sejarah dan urusan bangsa Arab. Sosial, politik dan budaya mereka. Ia giat belajar di universitas itu, Pasar Ukazh. Dan kini takdir itulah yang telah mengajarinya tegar dalam menanggung beban berat. Takdir itulah yang memberinya keberanian. Takdir itulah yang menciptakan misi: ia ingin membuktikan bahwa dunia itu salah. Ia bisa berbuat dan menghasilkan sesuatu. Dan kelak, takdir itu pula yang membawanya pada kemuliaan. Ia adalah orang yang diberi ilham. Ia yang memiliki kemampuan seperti nabi. Ia adalah Umar bin Khathab.
Menginjak masa muda, ia mulai menekuni dunia bisnis. Melakukan kunjungan niaga ke berbagai daerah. Pada musim panas, Ia berniaga ke negeri Syam dan pada saat musim dingin berniaga ke negeri Yaman. Dari perniagaan itu ia mendapat dua keuntungan besar: harta dan ilmu. Harta menghantarkannya menjadi salah satu orang terkaya di Mekah. Sedang ilmu mengantarkannya menjadi orang besar.
Tiga puluh tahun dalam jahiliyah. Umar dapat menduduki posisi strategis di tengah masyarakat Mekah. Kontribusinya sangat signifikan terhadap berbagai peristiwa. Suku Quraisy mempercayainya sebagai hakim. Seperti kata Ibnu Sa’ad: “Sebelum masuk Islam, Umar sudah terbiasa menyelesaikan pelbagai sengketa yang terjadi di kalangan bangsa Arab.” Ia terkenal sebagai orang yang bijaksana, bicaranya fasih, pendapatnya baik, kuat, penyantun, terpandang, argumentasinya kokoh, dan bicaranya jelas.
Saat bangsa Arab berada di antara dua imperium besar: Persia dan Romawi. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan yang mengintegrasi mereka. Dan mengatur seluruh sisi kehidupan mereka. Setiap suku mencerminkan kesatuan politik yang independen. Suku-suku bangsa Arab saat itu saling bermusuhan. Bahasa sosial mereka adalah rimba raya. Hidup dengan cara melakukan perampasan dan penghadangan di tengah jalan. Di antara mereka terjadi perang yang berlarut-larut sebab hal sepele. Maka pantas Umar bin Khathab diangkat menjadi delegasi suku Quraisy. Duta untuk menangani konflik di antara mereka.
Barangkali sebab itu Allah SWT memilih Umar bin Khathab dari pada Amr bin Hisyam. Mungkin sebab itu pula masa kecil Umar bin Khathab begitu keras. Allah ingin ia menghabiskan separuh hidupnya lagi untuk membantu Rasulullah dalam berdakwah. Dan itu adalah tugas yang lebih berat dari kehidupan masa kecilnya yang dianggapnya berat. Sekaligus itu adalah jawaban doa Rasulullah: “Ya Allah, muliakan Islam dengan orang yang paling Engkau cintai dari kedua orang ini; Amr bin Hisyam atau Umar bin Khathab.”
Begitulah kisah dibalik keharuman namanya. Tidak ada orang besar tanpa kehidupan yang keras. Tidak ada orang hebat tanpa pembelajaran. Umar tidak pernah putus asa dari takdirnya. Baik takdir dirinya ataupun bangsanya saat itu. Karena itu, jika takdirmu berbeda dengan yang lain. Maka bedalah cara hidupmu dari yang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar