sa'at shalat
Minggu, 08 Agustus 2010
Abu Hamid Ahmad dan 70 Hati Bercahaya Iman
Abu Hamid Ahmad ibnu Khadhruya al-Balkhi. Adalah seorang warga terhormat Kota Balkh. Istrinya adalah seorang wanita solikhah, putri dari Gubernur Kota Balkh.
Ahmad kerap dihubungkan dengan Hatim al-Asamm dan Abu Yazid al-Bisthami. Ia meninggal dunia di Nisyabur pada tahun 240 H / 864 M dalam usia 95 tahun.
Ia memiliki seribu orang murid. Setiap muridnya mampu berjalan diatas permukaan air dan terbang di udara. Ahmad mengenakan pakaian serdadu. Fatimah, istrinya, termasuk salah seorang wali sufi.Ia adalah putri dari Pangeran Balkh. Setelah bertobat, ia mengirim utusan untuk menemui Ahmad. “Mintalah aku dari ayahku.”
Ahmad tidak menanggapi, maka Fatimah pun mengirim utusan untuk kedua kalinya. “Ahmad, tadinya aku piker engkau lebih dari ini, jadilah pemandu jalan, jangan jadi penyamun.”
Ahmad pun kemudian mengirim seorang utusan untuk menemui ayah Fatimah untuk meminangnya. Ayah Fatimah, demi mencari berkah Allah, menyerahkan Fatimah kepada Ahmad. Fatimah pun memberikan salam perpisahan kepada keduaniawian dan menemukan kediaman yang tenang dalam kesunyian dengan Ahmad.
Hari-haripun berlalu. Suatu hari Ahmad berniat pergi mengunjungi Abu Yazid, Fatimah menyertainya. Saat mereka memasuki kediaman Abu Yazid, Fatimah melepaskan hijabnya dan berbincang-bincang dengan Abu Yazid.
Ahmad terkejut melihat hal ini, hatinya diliputi oleh api cemburu. “Fatimah apa yang engkau lakukan bersama Abu Yazid,” pekiknya.
“Engkau akrab dengan diri lahirku, sedangkan Abu Yazid akrab dengan diri batinku. Engkau membangkitkan hasratku, sedangkan ia membawaku kepada Allah,” jawab Fatimah. “Buktinya ia dapat kutinggalkan kapanpun engkau membutuhkan aku.”
Abu Yazid bercengkrama dengan Fatimah, hingga suatu kesempatan matanya memandang tangan Fatimah dan melihat kedua tangan Fatimah itu di warnai dengan pacar.
“Fatimah mengapa engkau memakai pacar?” Tanya Abu Yazid.
“Abu Yazid sebelum ini engkau tidak pernah memandang tanganku dan melihat pacar yang aku pakai,” jawab Fatimah.
“Sebelum ini aku merasa tentram bersamamu. Namun kini setelah matamu memandang tanganku, terlarang bagiku untuk menemanimu.”
:Aku telah memohon kepada Allah,” ujar Abu Yazid, “Agar Dia menjadikan wanita layaknya sebuah dinding dalam pandanganku. Dan begitulah Dia menampakkan wanita dalam pandanganku, seperti sebuah dinding.”
Kemudian Ahmad dan Fatimah melanjutkan perjalanan ke Nisyabur, dimana mereka disambut dengan hangat, saat Yahya ibnu Mu’adz Radhi tiba di Nisyabur dalam perjalanannya menuju Balkh. Ahmad ingin membuat pesta untuk Yahya, ia membicarakan itu dengan Fatimah.
“Apa yang kita butuhkan untuk pesta ini?” Tanya Ahmad.
“Banyak lembu dan domba,” jawab Fatimah. “Juga segala pernik-pernik perhiasan, seperti lilin dan minyak mawar, selain kita juga butuh sejumlah keledai.”
“Untuk apa daging keledai itu?” Tanya Ahmad.
Fatimah menjelaskan, “Saat seorang yang mulya datang untuk makan, anjing-anjing yang ada disekitar juga harus mendapat bagian dari pestanya.”
Begitulah jiwa kasatria yang dimiliki Fatimah. Sebagaimana dinyatakan oleh Abu Yazid, “Jika seseorang ingin melihat lelaki sejati bersembunyi dalam pakaian wanita, suruh ia melihat Fatimah.”
Ahmad mengisahkan riwayat berikut ini:
Untuk waktu yang lama, aku telah menekan jiwa badaniahku. Kemudian pada suatu hari, sekelompok besar orang bersiap untuk pergi berjihat. Di dalam diriku, timbul hasrat besar untuk mengikuti mereka. Jiwaku mengantarkanku akan sejumlah hadis yang berbicara mengenai imbalan di surga bagi mereka yang berjuang di jalan Allah.
“Aku begitu takjub, tak biasa-biasanya jiwaku sangat berhasrat untuk patuh,” ujarku. “Mungkin ini karena aku selalu membuat jiwaku berpuasa. Jiwaku tidak dapat menahan lapar lebih lama lagi, dan ingin berbuka puasa.”
“Aku akan ikut mereka berjihad, tapi aku tidak akan berbuka puasa dalam perjalanan.”
“Aku setuju,” jawab jiwaku.
Mungkin jiwaku berkata begitu karena aku selalu memerintahkannya untuk shalat malam. Ia ingin di perjalanan agar dapat tidur di malam hari dan beristirahat,” pikirku.
Maka aku pun berkata, “Aku akan tetap membuatmu terjaga hingga fajar.”
“Aku setuju,” jawab Jiwaku.
Aku tambah takjub. Kemudian terlintas dipikiranku, mungkin jiwaku berkata demikian karena ia ingin berbaur dengan orang banyak, ia telah letih berada dalam kesunyian, dan berharap mendapat pelipur lara dalam rombongan banyak orang.
Maka aku pun berkata, “Kemanapun aku membawamu, aku akan menaruhmu di tempat yang terpisah, dan aku tidak akan duduk berkumpul dengan orang-orang lain.”
“Aku setuju,” jawab jiwaku.
Aku pun terdiam, lalu memohon kepada Allah, Agar Dia menyingkapkan kepadaku segala tipu daya jiwaku atau membujat jiwaku mengaku.
Akhirnya, jiwaku bicara, “Setiap hari engkau membunuhku seratus kali, dengan menantang hasrat-hasratku, dan tak ada seorang pun yang tahu. Di dalam perang, setidaknya aku dapat terbunuh sekali untuk selamanya, dan akan mendapatkan kebebasan, dan beritanya akan tersebar ke seantero dunia. Ahmad ibnu Khadhruya benar-benar hebat! Mereka membunuhnya, dan ia meraih mahkota syahid.”
Kontan aku memekik, “Maha Mulia Allah, yang menciptakan sebuah jiwa dengan watak munafik ketika hidup, dan tetap munafik setelah mati. Jiwa seperti itu tidak akan pernah menjadi muslim sejati, baik di dunia ini maupun di akherat kelak. Aku pikir engkau ingin mematuhi Allah, ternyata tanpa kusadari, engkau tengah mencoba untuk memakai korset.”
Sejak saat itu aku menggandakan usahaku dalam menaklukkan jiwaku.
Ada seorang pencuri membobol rumah Ahmad, ia mencari kesana-kemari, namun tidak menemukan apa-apa. Saat ia hendak pergi meninggalkan rumah Ahmad, Ahmad memanggilnya, “Wahai anak muda, ambillah ember itu dan ciduklah air dari dalam sumur, berwuduklah, dan dirikanlah shalat. Jika aku mendapat sesuatu, aku akan memberikannya padamu, agar engkau tidak meninggalkan rumahku ini dengan tangan kosong.”
Si pencuri itu melakukan apa yang diperintahkan Ahmad. Ketika hari telah terang, seorang lelaki terhormat datang dan memberikan uang seratus dinar kepada Ahmad.
“Ambillah uang ini sebagai imbalan bagi malammu yang engkau lewatkan dengan shalat,” kata Ahmad kepada si pencuri.
Si pencuri kontan gemetaran seluruh tubuhnya, ia larut dalam tangis.
“Aku telah salah jalan,” pekiknya. “Baru semalam aku bekerja untuk Allah, dan Dia telah membalasku demikian besar.”
Pencuri itu pun bertobat, kembali kepada Allah. Ia menolak uang dinar yang diberikan oleh Ahmad, dan kemudian menjadi salah seorang murid Ahmad.
Pada suatu kesempatan, Ahmad pergi ke sebuah pondok sufi dengan mengenakan yang sangat buruk. Dalam cara sufi, Ahmad mengabdikan diri sepebuhnya untuk melakukan tugas-tugas spiritual. Namun para sufi lain di pondok itu diam-diam meragukan ketulusannya. “Tempatnya bukan disini,” kata mereka kepada Syekh mereka.
Kemudian pada suatu hari Ahmad pergi ke sumur dan embernya jatuh ke dalam sumur itu, para sufi lain mencela dan memakinya. Ahmad pun menemui sang syekh.
“Aku mohon, bacalah surah Al-Fatihah, agar ember dapat terangkat dari dalam sumur,” pinta Ahmad.
“Permohonan macam apa ini?” tukas sang syekh terheran-heran.
“Jika anda tidak berkenan membacanya,” kata Ahmad, “Maka izinkanlah aku untuk membacanya.”
Sang syekh mengizinkan, dan Ahmad pun membaca surah Al-Fatihah. Ember itu tiba-tiba terangkat ke permukaan. Ketika sang syekh melihat hal itu ia melepaskan serbannya.
“Anak muda siapa sebenarnya engkau? Lesungku hanya berisi sekam bila dibandingkan dengan bulir padimu,” Tanya sang syekh.
Ahmad menjawab, beri tahu para sahabatmu, janganlah terlalu memandang rendah para musafir.”
Suatu hari datang seorang lelaki datang menemui Ahmad dan berkata, “Aku sakit dan miskin, bimbinglah aku ke jalan yang dapat menghantarkanku keluar dari cobaan ini.”
“Tulislah jenis-jenis pekerjaan yang ada masing-masing pada secarik kertas,” jawab Ahmad. “Taruh potongan-potongan kertas itu dalam sebuah kantung, dan berikan padaku.”
Lelaki itu pun menuliskan semua jenis pekerjaan dan membawa semua potongan-potongan kertas itu kepada Ahmad. Ahmad memasukkan tangannya ke kantong itu dan mengambil secarik kertas. Di kertas itu tertulis pencuri.
“Engkau harus menjadi pencuri,” kata Ahmad kepada lelaki itu.
Lelaki itu terkejut bukan main, dan terheran-heran mendengar ucapan Ahmad. Kemudian ia bangkit dan pergi menemui sekawanan penyamun.
“Aku memimpikan pekerjaan ini,” katanya kepada mereka, “Bagaimana aku melakukannya?”
“Hanya ada satu aturan dalam pekerjaan ini,” kata mereka kepadanya. “Engkau harus melakukan apapun yang kami perintahkan.
“Aku akan melakukan apapun yang kalian perintahkan,” katanya meyakinkan mereka.
Lelaki itu tinggal bersama para penyamun selama beberapa hari. Lalu suatu hari, sebuah kafilah melintas. Para penyamun itu mencegatnya. Mereka menyerahkan salah seorang anggota kafilah itu, seorang saudagar yang kaya raya, kepada anggota baru.
“Gorok lehernya,” perintah mereka.
Lelaki itu ragu, ia berkata dalam hati, “Raja penyamun ini telah membunuh banyak orang , lebih baik aku membunuhnya daripada aku membunuh saudagar itu.”
“Jika engkau menginginkan pekerjaan ini, engkau harus melakukan semua yang kami perintahkan,” tukas sang pemimpin penyamun, “Kalau tidak, engkau harus pergi dan mencari pekerjaan lain.”
Lelaki itu berkata, “Ya, aku memang harus menjalankan perintah, tapi perintah Allah, bukan perintah kalian!”
Kemudian ia menghunus pedangnya, membiarkan saudagar itu pergi, dan menebas kepala sang raja penyamun.
Melihat jedian itu, para penyamun yang lain melarikan diri. Barang-baranaga milik kafilah itu tetap utuh, dan jiwa si saudagar tadi selamat. Ia memberikan banyak emas dan perak kepada lelaki itu agar bisa hidup mandiri.
Suatu hari seorang Darwis bertamu kerumah Ahmad dan diterima dengan hangat. Ahmad menyalakan tujuh puluh buah lilin.
“Ini tidak menyenangkanku,” kata si darwis, “sibuk dengan hal-hal remeh tidak ada kaitannya dengan sufisme.”
“Kalau begitu pergilah,” kata Ahmad, “Dan padamkan setiap lilin yang aku padamkan bukan karena Allah.”
Sepanjang malam si darwis menyiramkan air dan menaburkan tanah, namun tidak satu lilin pun yang berhasil ia padamkan.
“Mengapa engkau begitu terkejut?” kata Ahmad pada darwis itu keesokan harinya. “Ikutlah denganku, dan engkau akan melihat hal-hal yang memang patut membuat takjub.”
Mereka pun pergi dan di depan pintu sebuah gereja. Saat para pendeta Kristen melihat Ahmad bersama temannya, kepala gereja mengundang mereka untuk masuk. Ia menyajikan makanan di meja dan mempersilahkan Ahmad untuk makan.
“Para sahabat tidak makan bersama para musuh,” ujar Ahmad dengan hormat.
“Tawarkan Islam pada kami,” kata sang kepala Gereja.
Maka Ahmad menawarkan Islam kepada mereka. Tujuh puluh pendeta itu akhirnya memeluk Islam.
Malam itu Ahmad bermimpi, dalam mimpinya itu, ia mendengar sebuah suara: Ahmad engkau menyalakan tujuh puluh lilin untukku, kini aku telah menyalakan untukmu tujuh puluh hati dengan cahaya Iman. (ar/sf/suaramedia.com)(fiqhislam.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar