sa'at shalat
Rabu, 11 Agustus 2010
Ibnu Bathuthah, Sang Sufi Pengembara Dua Dasawarsa
(fiqhislam.com)
Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Tanji. Ia berasal dan dilahirkan dari orang tua Moor yang kaya dan bijaksana di Tangier, Maroko, pada 1304 M / 703 H dan wafat pada 1369 M / 770 H. Harapan orang tuanya, dia menjadi ahli hukum.
Namun kenyataan bicara lain, ia menjadi pengelana yang andal selama hampir dua dasawarsa dengan nama Ibnu Bathuthah.
Tangier adalah sebuah kota pelabuhan di Maroko Utara, terletak di bibir selat Gibraltar atau Jabal Thariq, yang sangat ramai disinggahi kapal-kapal dagang, yang merupakan arus pelayaran utama kala itu.
Situasi semacam itulah yang mempengaruhi kehidupan Bathuthah kecil. Kupingnya tajam menangkap pembicaraan para pelancong dan awak kapal yang singgah di kota kelahirannya itu, dan telah menebarkan isyarat, kelak ia akan menjadi seperti mereka, yaitu melancong dan mengembara. Untuk itu ia melengkapi dirinya dengan berbagai bacaan mengenai perjalanan lintas benua.
Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai pengembaraannya yang panjang selama 20 tahun (1325-1345). Ia meninggalkan Tanjier pada 1325 M / 735 H untuk mengunjungi kota-kota penting di Afrika Utara dan Mesir sampai ke kawasan Hulu, kemudian menuju ke Syiria dengan menyebrangi laut merah, lalu singgah di Kaukasus menjadi tamu kehormatan Sultan Muhammad Uzbeg.
Ketika sampai di Yunani, ia juga disambut hangat oleh Kaisar Andronicus. Begitu juga begitu ia tiba di Khurasan, Bulgar, Volga, dan Bhkhara. Untuk mencapai Cina ia harus melewati India.
Dalam pelayaran ke negeri Panda itu, ia singgah dua kali di Kerajaan Samudra Pasai, yang kini di kenal sebagai NAD, Nangro Aceh Darussalam. Konon, ia kagum kepada Sultan Malik Al-Zhahir, yang memerintah Pasai saat itu, terutama pada kealiman dan kedalaman ilmunya. Bahkan Bathuthah menegaskan, dari raja-raja Islam yang ditemuinya, di Hundustan, Turkistan, Bukhara, bahkan Mesir, Raja “Jawi” ini yang paling alim dengan ilmunya yang sangat banyak dan mendalam.
Wabah Penyakit.
Dalam perjalanan pulang dari Cina, ia singgah lagi ke Pasai 1346 dan beraudiensi dengan Sultan Malik. Kabarnya ia sangat terkesan dengan kehebatan Pasai, lantaran tidak bisa dikalahkan Majapahit, yang menyerang Pasai pada 1339, meski tentara Majapahit di pimpin langsung oleh Patih Gajah Mada, yang terkenal perkasa dan sakti. Ini menunjukkan Pasai adalah negara yang kuat. Dia tidak melihat tanda-tanda kerusakan yang disebabkan perang atau rehabilitasi pascaperang. Semua dalam keadaan damai dan sejahtera. Sultan Malik bahkan berjalan kaki menuju masjid untuk shalat Jumat di iringi para pembesar kerajaan.
Berikut adalah catatan Bathuthah tentang Pasai, “Kemudian saya masuk menghadap Sultan dan di suruh duduk disamping kirinya. Ketika itu beliau sedang duduk di hadapan murid-muridnya. Beliau menanyakan perihal Sultan Mahmud (Raja Maroko), dan perjalanan saya. Setelah itu beliau meneruskan muzakarah ilmu fikih sampai waktu ashar tiba. Setelah itu beliau masuk ke dalam Istana.”
Pada 1340, ketika tiba di Syam, negeri tersebut sedang dilanda wabah penyakit, dia menyingkir hingga ke Ghazan. Ternyata wabah itu telah menelan korban yang tidak sedikit. Bahkan teman-temannya di Syam hampir semuanya ,eninggal. Kemudian ia pergi ke Mesir. Disana kondisinya sama saja.
Akhirnya ia memilih pergi ke Mekah melalui Izhab untuk berhaji. Selesai berhaji yang dijalani selama 40 hari, ia balik ke Syam lewat Hijaz, kemudian ke Mesir, Tunis dan Maroko, terus ke Aljazair. Disini ia mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia dua tahun lalu karena wabah penyakit itu. Dia baru sempat menengok makam kedua orang tuanya, di Tangier, setelah Sultan Maroko, Abi Ana Al-Markisy, memberi uang bulanan, sebagai ucapan terima kasih atas petualangannya yang dinilai sangat positif itu.
Setelah kerinduannya pada kampung halamannya terobati, ia kembali berkelana ke Andalusia, yang kini di sebut Spanyol. Dia menyaksikan benteng-benteng pertahanan kaum muslimin masa lalu dan kembali ke Maroko. Setelah itu ia berkelana ke Sudan, Mauritania, dan Mali.
Sultan Maroko lah yang kemudian mempunyai inisiatif untuk membukukan petualangannya itu. Dia memerintahkan perdana mentrinya untuk mengumpulkan catatan-catatan Bathuthah yang berserakan dimana-mana.
Setelah terkumpul, ia memerintah penulis terkenal masa itu, Ibnu Juza’i, untuk menuliskannya. Caranya, Ibnu Bathuthah di suruh menceritakan pengalamannya berdasarkan catatan. Bila catatan itu hilang, di dasarkan pada ingatan.
Penulisan tersebut memakan waktu dua tahun pada 1355 M M/ 756 H. dan di terbitkan dengan judul: Tuhfat an-Nazzar fi Gharaib al-Amsar wa Afaib al-Asfar (hasil pengamatan menjelajahi negeri-negeri ajaib yang makmur). Lima abad kemudian, S. Lee, menerbitkan terjemahan buku itu (1863) dan H.A.R. Gibb (1950). Buku ini sampai kepada kita lewat tulisan DR. Hasan Muannis, yang berjudulIbnu Bathuthah dan Pelayarannya.
Lima abad setelah Ibnu Bathuthah meninggal, para orientalis mulai menaruh perhatian terhadap petualangannya. Buku-bukunya kemudian diterjemahkan dan di cocokkan kebenaran tanggal-tanggalnya, nama-nama tempat, dan tanda-tanda khusus tempat-tempat yang disinggahinya.
Ibnu Bathuthah meninggal di Markisy pada 1369 M/ 770 H di Maroko. Untuk menghormati keberaniannya mengarungi tiga Benua lewat laut dan darat, pemerintah setempat mengabadikan namanya untuk nama jalan tempat kelahirannya yang terletak di dekat Pasar Tangier, dan makamnya di beri nama “Kubah Hijau.”. (ar/sf/suaramedia.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar