id.harunyahya.com
Percaya kepada Allah Membuat Ilmuwan Bergairah dan Bersemangat
Seperti telah disebutkan di atas, agama mendorong sains. Mereka yang menggunakan akal dan mengikuti nurani untuk melakukan peneliti-an ilmiah, akan memperoleh iman yang kuat karena mereka memahami tanda-tanda Allah secara langsung. Mereka dihadapkan pada suatu sistem tanpa cacat dan detail sempurna yang di-ciptakan Allah di tiap tahapan penelitian yang mereka kerja-kan, dan di tiap penemuan yang mereka buat. Seperti dinya-takan Rasulullah Muhammad saw., mereka bertindak de-ngan mengetahui bahwa “orang yang pergi untuk mencari pengetahuan adalah orang yang taat (beriman) pada Allah hingga ia kembali.”
Sebagai contoh, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian tentang mata, setelah mengetahui betapa kompleksnya sistem mata, menemukan bahwa mata tidak akan pernah dapat terbentuk melalui proses kebetulan yang berangsur-angsur. Pengujian lebih lanjut akan membuat dia menyadari bahwa setiap detail dalam struktur mata adalah suatu ciptaan ajaib. Dia melihat bahwa mata terdiri dari lusinan komponen yang bekerja bersama dalam keselarasan, sehingga meningkatkan ke-kagumannya kepada Allah yang menciptakannya.
Sama halnya, seorang ilmuwan yang menyelidiki kosmos akan segera mendapati dirinya dihadapkan pada ribuan keseimbangan yang luar biasa. Dia akan semakin haus akan ilmu setelah menemukan bahwa miliaran galaksi dan miliaran bintang dalam galaksi ini berada dalam keselarasan di dalam keluasan jagat raya tak berbatas.
Melihat ini, orang yang beriman menjadi sangat terpesona dan terilhami untuk melakukan studi ilmiah menyingkap misteri alam semesta. Di dalam salah satu artikelnya, Albert Einstein — yang dianggap sebagai jenius terbesar era yang lalu — , merujuk inspirasi yang diperoleh ilmuwan dari agama:
… Saya percaya bahwa perasaan religius yang luas adalah alasan paling kuat dan paling mulia untuk penelitian ilmiah. Hanya mereka yang menyadari upaya tak terukur dan -di atas segalanya- ketaatan (yang tanpa semua itu pekerjaan-pekerjaan perintis dalam sains teoretis tidak mungkin dicapai) saja yang mampu memahami kekuatan emosi (yang hanya bisa ditimbulkan oleh pekerjaan seperti itu, sekalipun jauh dari kenyataan hidup sehari-hari.) Keyakinan yang mendalam akan rasionalitas alam semesta dan kerinduan untuk dapat memahami (meskipun hanya sebuah pemikiran lemah yang terungkap) di dunia ini, pastilah yang membuat Kepler dan Newton mampu menghabiskan bertahun-tahun bekerja dalam kesendirian untuk menguraikan prinsip-prinsip mekanika luar angkasa!Mereka yang hanya mendapatkan pengetahuan penelitian ilmiah dari hasil-hasil praktis, dengan mudah dapat mengembangkan suatu gagasan salah dari mentalitas orang-orang (yang karena dikepung oleh suatu dunia skeptis) telah menunjukkan jalan ke arah pemikiran kelompok yang me-nyebar ke seluruh dunia dan sepanjang abad. Hanya orang yang telah mengabdikan hidupnya sampai akhir saya yang memiliki kesadaran jelas tentang apa yang telah mengilhami orang-orang ini dan memberi mereka kekuatan untuk tetap pada tujuan mereka kendati mengalami kegagalan tak terbilang. Itu adalah perasaan religius kosmis yang memberi seseorang kekuatan. Tidaklah berlebihan jika para modernis berkata bahwa di zaman materialistis ini, para pekerja yang serius hanyalah orang-orang yang amat religius.
Johannes Kepler menyatakan bahwa dia terlibat dalam sains untuk menggali karya Sang Pencipta, sedang Isaac Newton, ilmuwan besar lain, menyatakan bahwa pendorong utama di belakang minatnya terhadap sains adalah keinginannya untuk mengenal Tuhan dengan lebih baik.
Itu adalah pernyataan beberapa ilmuwan terkemuka. Para ilmuwan ini — dan ratusan ilmuwan lain yang akan kita bahas di buku ini — akhir-nya percaya pada keberadaan Allah dengan menyelidiki alam semesta, ke-mudian terkesan oleh hukum-hukum dan fenomena yang telah diciptakan Allah secara menakjubkan, serta berharap menemukan lebih banyak lagi.
Seperti yang kita lihat, keinginan untuk mempelajari tentang 'bagai-mana Allah menciptakan alam semesta' telah menjadi faktor pendorong terbesar bagi banyak ilmuwan. Ini sangat penting, karena orang yang me-nyadari bahwa alam semesta dan segala makhluk hidup adalah hasil pen-ciptaan, akan menyadari bahwa penciptaan tersebut mempunyai tujuan. Tujuan ini kemudian mengarahkan manusia pada makna. Keinginan memahami arti penciptaan, menemukan berbagai tandanya dan menemu-kan berbagai detailnya, akan mempercepat laju kajian-kajian ilmiah.
Akan tetapi, jika kenyataan penciptaan alam semesta dan makhluk hidup ditolak, makna ini akan lepas juga. Seorang ilmuwan yang percaya pada filosofi materialis dan Darwinisme, akan beranggapan bahwa alam semesta tidak memiliki tujuan, dan bahwa segalanya adalah peristiwa kebetulan. Akibatnya, penyelidikan alam semesta dan makhluk hidup tak diiringi pencarian makna. Mengomentari fakta ini, Einstein menyatakan, “Saya tidak dapat menemukan ungkapan yang lebih baik daripada 'religius' untuk keyakinan terhadap sifat rasional dari realitas, sepanjang dapat diterima akal sehat manusia. Kapan saja perasaan ini tidak ada, sains merosot menjadi empirisme membosankan."
Dalam kasus di atas, tujuan tunggal para ilmuwan dalam melakukan penemuan-penemuan hanyalah untuk meraih ketenaran, untuk diingat sejarah, atau untuk menjadi kaya. Tujuan seperti itu dapat dengan mudah mengalihkannya dari ketulusan hati dan integritas ilmiah. Sebagai contoh, jika kesimpulan yang dicapainya melalui penelitian ilmiah tersebut bertentangan dengan pandangan masyarakat pada umumnya, dia mungkin terpaksa merahasiakannya agar reputasinya tidak jatuh atau dipermalukan publik, atau agar statusnya tidak turun.
Penerimaan terhadap teori evolusi dalam dunia sains adalah suatu contoh tidak adanya ketulusan. Pada dasarnya, banyak ilmuwan — yang setelah menghadapi fakta ilmiah — menyadari bahwa teori evolusi tidak mampu menjelaskan asal kehidupan. Namun, mereka tidak berani menyatakannya secara terbuka karena takut akan mendapat reaksi negatif. Sehubungan dengan itu, seorang ahli fisika Inggris, H.S. Lipson membuat pengakuan:Kita tahu jauh lebih banyak tentang benda hidup dibandingkan Darwin. Kita tahu bagaimana kerja syaraf dan saya memandangnya sebagai mahakarya teknik elektro. Dan, kita memiliki ribuan -bahkan jutaan- syaraf dalam tubuh kita. Kata yang muncul dalam benak tentang hal ini adalah: “Rancangan.” Namun, para ahli biologi kolega saya tidak me-nyukai kata itu.
Kata “rancangan” disingkirkan dari literatur ilmiah hanya karena ia tidak disukai, bersamaan dengan banyaknya ilmuwan yang menyerah pada dogmatisme seperti itu. Mengomentari hal tersebut, Lipson berkata:
Situasi yang tidak diinginkan ini merupakan hasil tipuan “sains anti Tuhan” yang menguasai masyarakat ilmiah mulai pertengahan abad ke-19. Namun, seperti yang dinyatakan Einstein, “sains tanpa agama adalah timpang.”. 8 Kepercayaan palsu ini tidak hanya mengarahkan masyarakat ilmiah pada tujuan yang salah. Ia juga menyebabkan para ilmuwan —yang menyadari kesalahan tersebut— tetap tak peduli atau diam mengenainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar