Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (4-habis)
republika.co.id
Penempaan Diri
Seperti apakah visualisasi olah spiritual tersebut? Sederhananya, bagaimana gambaran pertempuran antara dimensi kebaikan dan kejahatan dalam diri seorang hamba?
Menurut Al-Hakim yang pernah terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial (Khatmul Awliya’ dan ‘Ilal Asy-Syari’at) itu, jika jiwa seseorang telah terbiasa dengan kenikmatan dan syahwat atau bermain-main dengan nafsu, maka ia akan sulit meninggalkannya. Sebelum segalanya terjadi, maka segeralah merapat kepada-Nya.
Lihat saja bagaimana seekor binatang liar dipelihara dan diasuh menjadi hewan peliharaan di rumah. Sebelumnya, hewan itu tumbuh dan berkembang di dunia luar yang tak teratur. Begitu pindah ke rumah, ia mendapat perhatian yang cukup, terurus, dan berubah menjadi penurut. Menuruti apa yang diinginkan oleh majikannya.
Ambil contoh pula dengan balita yang gemar menyusu. Begitu dipaksa berhenti menyusu, ia akan menangis. Lain halnya jika kebiasaan itu dialihkan dengan memberikan alternatif yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, ia akan dengan mudah berhenti menyusu dan melupakan air susu ibunya.
Para ahli mujahadah akan menyikapi kenikmatan dan kelezatan duniawi itu secukupnya. Mengambil apa yang ia perlukan, baik dalam hal makan, minum, mencari nafkah, maupun soal pangkat dan jabatan.
Selebihnya, ia berusaha untuk tidak bergelimang dan terjerumus. Inilah esensi takwa batin. Sedangkan ketakwaan dari segi fisik ialah menjaga segenap anggota tubuh dari berbuat maksiat.
Bagaimana kiat sederhana olah spiritual itu? Jalankan shalat tepat waktu, sambangilah makam untuk mengingat kematian, datangi lokasi yang ada api membara, bayangkanlah bahwa kematian, panasnya api neraka ada di depan Anda. “Tak jauh, cuma sejengkal kaki dan sejauh mata anda memandang,” tulis tokoh yang terinspirasi dari sang ayah, Syekh Ali, tersebut.
Menurut Al-Hakim yang pernah terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial (Khatmul Awliya’ dan ‘Ilal Asy-Syari’at) itu, jika jiwa seseorang telah terbiasa dengan kenikmatan dan syahwat atau bermain-main dengan nafsu, maka ia akan sulit meninggalkannya. Sebelum segalanya terjadi, maka segeralah merapat kepada-Nya.
Lihat saja bagaimana seekor binatang liar dipelihara dan diasuh menjadi hewan peliharaan di rumah. Sebelumnya, hewan itu tumbuh dan berkembang di dunia luar yang tak teratur. Begitu pindah ke rumah, ia mendapat perhatian yang cukup, terurus, dan berubah menjadi penurut. Menuruti apa yang diinginkan oleh majikannya.
Ambil contoh pula dengan balita yang gemar menyusu. Begitu dipaksa berhenti menyusu, ia akan menangis. Lain halnya jika kebiasaan itu dialihkan dengan memberikan alternatif yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, ia akan dengan mudah berhenti menyusu dan melupakan air susu ibunya.
Para ahli mujahadah akan menyikapi kenikmatan dan kelezatan duniawi itu secukupnya. Mengambil apa yang ia perlukan, baik dalam hal makan, minum, mencari nafkah, maupun soal pangkat dan jabatan.
Selebihnya, ia berusaha untuk tidak bergelimang dan terjerumus. Inilah esensi takwa batin. Sedangkan ketakwaan dari segi fisik ialah menjaga segenap anggota tubuh dari berbuat maksiat.
Bagaimana kiat sederhana olah spiritual itu? Jalankan shalat tepat waktu, sambangilah makam untuk mengingat kematian, datangi lokasi yang ada api membara, bayangkanlah bahwa kematian, panasnya api neraka ada di depan Anda. “Tak jauh, cuma sejengkal kaki dan sejauh mata anda memandang,” tulis tokoh yang terinspirasi dari sang ayah, Syekh Ali, tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar