sa'at shalat

Kamis, 12 Juli 2012

23 sya'ban 1433
7 ayyam 2 go syahrul Ramadhan



Menghiasi Diri Dengan Akhlak Mulia

http://khoiruddin.com/wp-content/uploads/2012/01/akhlak.jpgDalam realitas keseharian kita, kadangkala kita pernah menjumpai seorang Muslim yang mungkin dari sisi ritualitas ibadahnya bagus, namun hal demikian sering tidak tercermin dalam perilaku atau akhlaknya. Shalatnya rajin, tetapi sering tak peduli dengan tetangganya yang miskin. Shaum sunnahnya rajin, namun wajahnya jarang menampakkan sikap ramah kepada sesama. Zikirnya rajin, tetapi tak mau bergaul dengan masyarakat umum. Demikian seterusnya. Tentu saja, Muslim demikian bukanlah Muslim yang ideal.
Muslim yang ideal tentu adalah Muslim yang memiliki hubungan yang baik secara vertikal kepada Allah SWT yang terwujud dalam akidah dan ibadahnya yang lurus dan baik, sekaligus juga memiliki hubungan yang baik secara horisontal dengan sesama manusia yang tercermin dalam akhlaknya yang mulia.
Akhlak mulia (akhlaq al-karimah) adalah salah satu tanda kesempurnaan keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Karena itu, tentu tidak dikatakan sempurna keimanan dan ketakwaan seorang Muslim jika ia tidak memiliki akhlak mulia. Bahkan Baginda Rasulullah SAW menyebut keimanan yang paling sempurna dari seorang Muslim ditunjukkan oleh akhlaknya yang mulia, “Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya,” demikian sabda beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Karena itu, tidak aneh jika Baginda Rasulullah SAW pun menyebut Muslim yang berakhlak mulia sebagai manusia terbaik. Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sejumlah hadits lainnya, Baginda Rasulullah SAW menyebut sejumlah keistimewaan akhlak mulia ini. Saat beliau ditanya tentang apa itu kebajikan (al-birr), misalnya, beliau lansung menjawab, “Al-Birr husn al-khulq (Kebajikan itu adalah akhlak mulia.” (HR Muslim).
Beliau bahkan bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari Kiamat nanti selain akhlak mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berbuat keji dan berkata-keta keji.”(HR at-Tirmidzi).
Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah SAW pernah ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak mulia.” (HR at-Tirmidzi).
Akhlak mulia tentu saja bagian dari ketakwaan itu sendiri. Namun demikian, akhlak mulia disebut secara khusus dalam hadits di atas. Ini menunjukkan betapa istimewanya akhlak mulia. Ibn al-Qayyim berkata, “Penggabungan takwa dengan akhlak mulia karena takwa menunjukkan baiknya hubungan seseorang dengan Tuhannya, sementara akhlak mulia menunjukkan baiknya hubungan dirinya dengan orang lain.” (Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/68).
Sebaliknya, saat Baginda Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan orang masuk neraka. Beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR at-Tirmidzi).
Mengapa mulut? Sebab, dari mulut bisa meluncur kata-kata kekufuran, ghibah(membicarakan kejelekan orang lain), namimah (mengadu-domba orang lain), memfitnah orang lain, membatalkan yang haq dan membenarkan yang batil, dll.
Keutamaan kedudukan orang yang berakhlak mulia juga disejajarkan dengan keutamaan kedudukan orang yang biasa memperbanyak ibadah shaum dan sering menunaikan shalat malam. Baginda Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya seorang Mukmin-karena kebaikan akhlaknya-menyamai derajat orang yang biasa melakukan shaum dan menunaikan shalat malam.” (HR Abu Dawud).
Bahkan kedudukan orang yang berakhlak mulia pada Hari Kiamat nanti dekat dengan kedudukan Baginda Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau,“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya dengan majelisku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebaliknya, orang yang aku benci dan paling jauh dari diriku adalah orang yang terlalu banyak bicara (yang tidak bermanfaat, pen.) dan sombong.” HR at-Tirmidzi).
Lalu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia atau husn al-khulq? Di dalam tafsirnya, Abdullah ibn al-Mubarak, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menyebut husn al-khulq sebagai: selalu bermuka manis; biasa melakukan kebajikan, di antaranya dengan biasa memberikan nasihat kepada orang lain dengan kata-kata yang baik, ringan tangan (mudah membantu orang lain), dll; serta sanggup menahan diri dari sikap menyakiti orang lain baik lewat ucapan maupun tindakan.
Husn al-hulq sesungguhnya juga merupakan gabungan dari sikap suka memaafkan, biasa memerintahkan kebajikan dan berpaling dari orang-orang yang jahil/bodoh, sebagaimana firman Allah SWT: Berilah maaf, perintahkanlah kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (TQS al-A’raf [7]: 199). (Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/72).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar