sa'at shalat

Sabtu, 28 Juli 2012


Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (2)


Zaid bin Haritsah, Sang Pencinta Rasulullah (2)  

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah beberapa lama Su’da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an, suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok Badui yang menggerayangi desa tersebut.

Kampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mempertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. 

Dengan perasaan duka, kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Haritsah jatuh tak sadarkan diri. Ketika sadar, dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. 

Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya.

Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk hatinya yang terdalam:
“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi Allah, ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit kuterkenang kepadanya.
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merona."
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu yang terjadi di Athena, Yunani. Begitu juga di Kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di Jazirah Arab sendiri.

Syahdan, di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Ma’an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokan ke Pasar Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam.

Kemudian ia berikan kepada bibinya, Khadijah, yang waktu itu telah menjadi istri Rasulullah. Namun, beliau belum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama. Tapi, pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat sebagai Rasul-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar